Bagian Duapuluh Lima

8.2K 1.6K 202
                                    

Kejutaaaan❤❤❤

Happy reading~

———————

"Kalau kamu nyari suami gantengmu ini, cari di rumah Ardan. Aku tidur di sana, bukan di rumah janda gang sebelah!" Emil berseru di depan pintu rumah yang terkunci dari dalam. "Ntar difitnah lagi aku. Ngamok nggak jelas lagi ntar! Banting-banting panci, peyok aku lagi yang salah. Gajiku habis buat beli panci!"

Mendapat balasan dari dalam rumah. "BODO AMAT!"

Ardan menabok dada Emil. "Lo pernah tidur di rumah janda sebelah?!"

"Lo pikir gue segila itu?!" Emil membalas tabokan Ardan di pipi. Lantas menunjuk leher dan pintu bergantian. "Sama aja gue nyerahin leher gue buat digorok diaaa."

"Sial banget gue malem ini." Sambil memegang pipi yang panas.

Emil yang kebetulan sedang sensitif, langsung merepet. "Lo juga mau buang gue? Nggak boleh nih tidur rumah lo? Lo mau gue beneran tidur di rumah janda sebelah?"

Ardan menoleh ke pintu. Berseru. "Ren, tenang aja! Gue colok mata laki lo kalau sampai berani meleng!"

"Cungkil matanya sekalian, Dan!"

Kedua tangan Emil sontak terulur ke leher Ardan. Membuat gerakan mencekik lalu mengguncang-guncang bahu Ardan. "Lo beneran sobatnya Renna. Belain dia lo ya. Salah gue pilih temen. Matik lo, matiiiik."

Sadar jika dirinya harus tetap waras, maka Ardan mengalah. Membiarkan Emil puas mencekiknya dan menunggu hingga sahabatnya itu menyingkirkan tangannya sendiri.

Setelah Emil menjauh, Ardan segera merangkul bahunya. Membawa Emil meninggalkan teras sebelum mulut merepetnya membawa tetangga-tetangga mendekat.

Rangkulan Ardan kena tepis. Jadilah mereka jalan sendiri-sendiri. Ardan mendongak ke bangunan kos. Sekarang pukul sepuluh. Seharusnya anak kos belum tidur, 'kan? Apa mereka masih di atap? Dia ingin ke atap, tapi bagaimana dengan Emil yang sedang tantrum? Ditinggalkan sendiri tidak mungkin. Diajak masuk ke kos juga makin tidak mungkin. Jelas haram!

Emil langsung merebahkan diri di lantai. Menatap lampu teras di bawah endusan Ana yang langsung mendekat. Emosinya perlahan surut. "Dan, kasih gue makan. Gue terakhir makan di pabrik tadi siang."

"Beban temen."

Meraih tubuh Ana di dekat kepalanya, Emil membawa Ana ke dada, memeluk. Tapi di mata Ardan terlihat seperti memiting. "Bikinin es teh sekalian."

"Iya. Iyaa. Tapi lepasin kucing gue!"

Setelah memastikan Ana sudah dilepas, Ardan masuk ke rumah. Kembali lima menit kemudian. Membawa sepiring penuh nasi dan beberapa toples lauk—biar dipilih sendiri. Berikut dengan segelas besar es teh.

"Lo punya kerupuk?"

Ardan baru akan kembali ke dalam untuk mengambil kerupuk saat terdengar gerbang kos digeser. Ardan berhenti untuk melihat siapa yang muncul di sana.

"Udah selesai, Sa?"

"Emang ada acara apa?" Sasa membalas dengan kekehan. "Orang pas Abang pergi yang lain juga pada ngacir." Lalu melanjutkan langkah untuk meletakkan plastik sampah di bak pembuangan.

"Terus masih ada siapa di atap?"

"Kak Agni kayaknya. Mbak Ayuk ikut turun bareng aku soalnya."

"Oh."

Sasa pun hilang di balik gerbang.

Dengan mulut penuh makanan, Emil menatap keki Ardan yang malah bengong di depan pintu. Mengunyah cepat-cepat. "Buru ambilin gue kerupuk!"

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang