But have one last cry, one last cry
Before I leave it all behind
I've gotta put you out of my mind, this time
Stop living a lie
I guess I'm down to one last cryLaki-laki berpipi tembam ini selesai menyenandungkan sebuah lagu dan meletakkan gitar di samping lemarinya. Ia sudah duduk kembali di atas kasurnya dan bersandar pada dinding. Fiki, anak ini terlihat murung setelah menyanyikan lagu tadi. Fiki memijat pangkal hidungnya pelan, ia merasa pusing karena 10 menit yang lalu menangis tersedu, sisa ingusnya sekarang sudah tuntas ia keluarkan di selembar tisu.
“Gue bahkan sampe detik ini belum bisa lupain lo,” ucapnya bermonolog, mata Fiki kembali membendung cairan bening yang akan jatuh di pipinya. Fiki ingin menangis lagi namun ia tahan, tidak mau merasakan sesak di dadanya seperti tadi. Cukup sudah ia menangisi kenangannya.
Kriet
Pintu kamar Fiki terbuka, menampilkan sosok laki-laki berpakaian jersey basket berwarna putih dengan ekspresi yang tak kalah sedih dengan Fiki. Laki-laki itu duduk di tepi kasur Fiki dan menatap Fiki sendu.
“Lo masih mikirin Oni?” tanyanya hati-hati, Fiki mengangguk lalu tangannya memijat pelipisnya pelan.
“Ji, kepala gue pusing banget,” keluh Fiki kepada Fajri, yang dipanggil Aji olehnya tadi. Aji melihat Fiki dengan tatapan prihatin.
“Lo sakit, Fik?”
Fiki menggeleng. “Kelamaan nangis tadi, makanya pusing banget.”
“Inget kesehatan lo, Fik. Jangan nangis terus, biarin dia tenang di sana.”
Mata Fiki kembali memanas, air matanya kembali muncul di pelupuk mata. “Gimana gue nggak nangis terus, Ji. Kenangannya dia aja masih keputer jelas di otak gue. Omelan-omelan dia, senyumnya dia, sama perhatiannya dia waktu obatin luka di telunjuk gue aja masih inget banget. Gue kangen dia, Ji, gue .…”
Fiki akhirnya menangis lagi. Air matanya sudah menetes berkali-kali di pipinya. Aji juga mau tak mau ikut menangis. Bukannya lemah, tapi Aji tahu betul perasaan Fiki, ia juga merasakan apa yang Fiki rasakan. Persis sekali.
Aji beranjak dari duduknya. “Tuntasin nangis lo, Fik. Gue balik ke kamar dulu.”
Setelah pamit dengan Fiki di kamarnya, Aji pergi ke kamarnya dan menangis di sana. Membenamkan kepalanya di bantal. Aji adalah orang yang tidak mau menampilkan air matanya di depan orang lain secara terang-terangan seperti Fiki. Lebih baik ia menahannya lalu menyendiri.
“Jujur, gue juga kangen lo, Oni,” gumam Aji pelan dan sudah sesenggukan. Ia tidak bisa menahan air matanya kali ini, sebagian sarung bantalnya sudah basah karena air matanya.
“Menurut gue, ini terlalu cepet dan mendadak banget. Gue … gue belum siap, Oni. Gue belum siap lo tinggal, gue bahkan belum bi—”
“Aji yang sabar, ini udah takdir Allah,” ucap seorang laki-laki yang sudah mengusap kepala Aji lembut. Di pundaknya tersampir sebuah sajadah coklat, ia baru saja menunaikan ibadah salat sunnah.
Aji membenarkan posisinya menjadi duduk lalu mengusap wajahnya kasar, menghapus sisa air mata di pipinya. “Susah, sesusah itu ya lupain kenangan pahit, Rick?”
Ricky terdiam. Spontan pikirannya juga kembali pada masa lalunya yang dahulu. Entah dapat dibilang manis atau justru malah sangat pahit, ia membenci kenangan itu. Buru-buru Ricky menghilangkan pikiran itu dan kembali menenangkan Aji.
“Gampang, Ji. Cuma, harus dari diri sendiri dulu kalo lo mau coba ikhlas, ilangin perlahan jangan langsung semuanya. Semua butuh proses,” ucap Ricky dengan senyum tipis, Aji bergeming.
KAMU SEDANG MEMBACA
CdM 2: Ketik Ketuk Hati || UN1TY [SELESAI]
Fanfiction[30/30] - romansa; angst; drama Terpilih & masuk ke reading list 'Fanfiksi Unik, Beda Dari Yang Lain' oleh @WattpadFanficID bulan Februari 2021 ❝Tanpa disadari, kalian menghadapi masalah pelik yang sama, dengan orang yang 'nyaris' sama.❞ Masa lalu...