Berkali-kali gadis ini menekan tombol delete di laptopnya lalu mengetik sesuatu dan menghapusnya lagi. Menulis. Sudah menjadi hal yang lumrah ia lakukan selama ini, namun saat ini pikirannya tidak fokus. Padahal tenggat waktu untuk menyelesaikan draf novelnya yang ini tinggal beberapa hari lagi. Di kamarnya yang redup dan hangat, ditemani lilin aromaterapi lavender, ia menyandarkan punggungnya yang pegal ke kursi.
“Runa? Ayo makan dulu, Ibu bikinin kamu nasi goreng, loh, ka—”
Maroona berdecak. Iya Runa itu panggilan Maroona selama di rumah, hanya di rumah. “Bu, udah berkali-kali Runa bilang, Runa nggak suka nasi goreng. Kenapa Ibu selalu bikin nasi goreng?”
“Itu kesukaan kakak kamu, jadi kamu juga harus makan itu,” ucap perempuan paruh baya ini dengan mata sendu, menyimpan sesuatu.
Gadis ini merapikan laptopnya dan beralih ke kasurnya. “Bu, Kakak udah nggak ada, mbak udah pergi! Jangan samain Runa sama mbak!” Maroona merebahkan dirinya ke kasur dan memunggungi Ibunya.
“Ibu tunggu di bawah, jangan lupa makan nasi gorengnya, ya?” Setelah pamit, Ibunda Maroona keluar dari kamarnya dan menutup pintu pelan.
Isak tangis terdengar dari Maroona, anak itu menangis. Mengapa takdir yang seperti ini harus diberikan di hidupnya? Ibunya yang selalu menyamakan dengan kembarannya yang sudah pergi dari dunia. Ekspektasi Ibunya terlalu tinggi dan masih saja menganggap Maroona bisa menjadi seperti kakaknya. Musisi dan penyuka nasi goreng. Itu sangat bertolak belakang dengan Maroona. Ia benci nasi goreng dan ia tidak ingin menjadi musisi. Jalannya sudah terbuka lebar menjadi penulis.
“Mbak? Di sana baik-baik aja, kan? Kenapa Runa malah disuruh jadi kayak Mbak? Kenapa harus Runa?” ucap Maroona bermonolog, air matanya jatuh perlahan mengingat kakak atau lebih tepatnya kembarannya yang telah tiada.
Perut Maroona keroncongan, ia lapar namun apa daya ia malas sekali jika harus ke bawah dan menuju dapur. Pasti nanti ia dipaksa untuk memakan makanan yang sangat tidak ia suka dari dulu. Ia benci nasi goreng. Maroona ingin mengambil susu full cream-nya pun percuma, sama saja harus ke dapur. Serba salah menjadi seorang Maroona Andini.
Maroona menegakkan posisinya, sekarang menjadi duduk. Ia mengusap air mata terakhir yang jatuh di pipinya dan meraih ponsel.
Nomor asing? Ini nomor siapa? Ucap Maroona dalam hati.
081xxxxxxxxx
|Hai, Una!
|Salam kenal, ya!🌹Orang gila! Baru kenal aja udah ngasih emot bunga, dasar aneh! Desis Maroona sambil memaki dalam hati.
Maroona tidak memedulikan pesan singkat yang masuk di ponselnya dan memilih untuk memeriksa emailnya yang membludak. Ada tagihan untuk novel yang akan diterbitkan dan beberapa pesan yang menyangkut pekerjaannya sebagai penulis. Sibuk sekali.
Sekitar kurang lebih 15 menit Maroona membalas email-email yang masuk, tentu karena desakan pekerjaannya. Ia memijat pangkal hidungnya, tiba-tiba pusing. Mungkin karena terlalu lama menatap laptop tadi.
081xxxxxxxxx
|Gue Fenly, yang waktu itu ngikutin lo,
|save nomor gue okay?Pop-up di ponselnya muncul saat ia sedang fokus mengetik balasan untuk penerbit buku terbesar di Indonesia. Dahi Maroona berkerut dan alisnya bertaut. Fenly? Sudah gila anak ini.
“Dia dapet nomor gue dari mana? Kelihatan banget kalo dia penguntit,” Maroona berdesis, mengapa masalahnya bertambah satu seperti ini. Mengapa Fenly sangat keras kepala ingin berkenalan dengannya? Mengapa mengikutinya? Dan, dapat nomornya dari mana? Nomornya hanya tercantum pada … kartu nama?
KAMU SEDANG MEMBACA
CdM 2: Ketik Ketuk Hati || UN1TY [SELESAI]
Fanfiction[30/30] - romansa; angst; drama Terpilih & masuk ke reading list 'Fanfiksi Unik, Beda Dari Yang Lain' oleh @WattpadFanficID bulan Februari 2021 ❝Tanpa disadari, kalian menghadapi masalah pelik yang sama, dengan orang yang 'nyaris' sama.❞ Masa lalu...