021| Ketetapan Perasaan

187 54 20
                                    

“Lo masih bisa tahan kan, Na, rasa sakitnya?” Lovanoga menoleh pada Maroona yang duduk di sisi kemudi mobil. Ia mengangguk pelan, rasa sakit di kepalanya membaik meski menyisakan pengar.

“Kak, anterin aku balik ke rumah aja, jangan ke rumah sakit—”

“Nggak Na, kita check-up ke dokter dulu ya. Pastiin tensi lo nggak tinggi banget.”

Maroona terkejut, mengapa Lovanoga tahu soal tensi? “Kok kakak tahu—”

“Mama sering kambuh kayak gini, jadi gue tahu mesti tensinya lagi naik.” Sekarang, mobil Lovanoga berhenti pada persimpangan jalan raya, lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Ia menginjak pedal remnya perlahan.

Maroona menatap Lovanoga serius. “Mama? Mama aku juga, kan?”

“Iya, Mama kandung lo.”

“Mama punya riwayat hipertensi?”

Lovanoga mengangguk dan lanjut menginjak pedal gas, lampu sudah berubah hijau. Suara klakson di belakangnya membuat ia segera melajukan mobil kembali. “Mama dulu preeklampsia* pas mengandung gue, sampe akhirnya kehamilan kedua Mama mengalami preeklampsia lagi, tensinya tinggi banget ....”

“... gue kira Oni yang bakal kena hipertensi atau gue, ternyata dua dari kita nggak ada yang hipertensi. Gue baru tahu fakta ini kemarin, setelah Mama jelasin.”

Maroona menunduk, apa iya ia siap menemui orang tua kandungnya?

“Kalo Kak Lovanoga—”

“Panggil Oga aja,” ralatnya. Ia membelokkan mobilnya ke arah rumah sakit, sebentar lagi sampai.

“Ngh.. kalo Kak Oga ... nggak punya riwayat sakit apa pun?”

Lovanoga menggeleng. “Gue sehat. Tapi Oni yang sakit. Dia punya masalah pencernaan, intoleransi laktosa dan sensitif banget. Dua tahun lalu juga dia dinyatakan sakit peritonitis ....”

“... gue nggak tahu apa penyebab sakitnya dia, tapi saat temennya dia yang bernama Reena dateng seminggu setelah kematian Oni, dia bilang kalo semasa kuliah dia sering bully Oni dengan paksa minum susu ....”

“... kalo Oni nggak mau, Reena akan cabut beasiswa Oni. Gue benci banget sama dia!”

Maroona mengingat sesuatu, kata Lovanoga tadi Macaronia meninggal? Kembarannya yang ini juga meninggal? Mengapa ia harus diberi kesempatan bertemu saudaranya di saat seperti ini?

Lovanoga semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, the worst recalling thing ever, pikirnya. Ia membenci mantan kekasihnya yang satu itu. Selain berkhianat dengannya, Areena juga mencelakai adik kandung kesayangannya.

“Kak, berarti Oni itu ... kakak kandung aku?”

Maybe. Gue nggak ngerti persis mana urutannya. Mungkin ... Maranatha dulu, baru Oni, dan terakhir adalah lo.”

Sekarang Maroona mengerti mengapa Fenly dan Fiki memanggilnya dengan nama Oni. Wajahnya ... sama. Ia sedikit hancur mengetahui kenyataan ini dan menaruh kecewa pada keduanya terutama Fenly, ternyata laki-laki itu mengejarnya hanya karena ia mirip dengan Macaronia-kakak kandungnya-semata. Hipertensinya bereaksi lagi saat ini.

“Kak ...” panggil Maroona pelan, Lovanoga berdeham dan masih terus melajukan mobilnya kencang. “Jangan ngebut-ngebut, aku ... pusing banget.”

Pernyataan Maroona membuat Lovanoga spontan mengerem mendadak. Ia lupa sedang bersama siapa. “Maaf, gue lupa.”

Ia kembali menarik gear mobil dan melajukan mobil dengan pelan, ia berbelok dan memasuki salah satu kawasan rumah sakit.

CdM 2: Ketik Ketuk Hati || UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang