022| Membuka Luka

198 51 18
                                    

Maroona bangun dari baringan tidurnya lalu setengah duduk. Di tangannya masih ada infus yang setia menempel untuk memberi cairan obat pada tubuhnya. Kali ini cukup parah, krisis hipertensi*. Tadinya memang Maroona baik-baik saja di perjalanan, hingga akhirnya sampai di rumah sakit tensinya naik lagi, bahkan melambung tinggi.

“Gue nggak kuat kalo terus-terusan kayak gini, sakit banget kepala gue,” rintihnya pelan. Ia mencoba meraih ponsel di meja di sampingnya namun terlihat kesusahan.

Ceklek

“Jangan main hape dulu.”

Maroona mengurungkan niatnya lalu menoleh. Lovanoga sudah duduk di sampingnya. “Mau ngapain?”

“Ngh.. itu Kak, mau ... charge hape, punyaku lowbat.”

Lovanoga berdiri dan mengambil alih ponsel Maroona, benar ponselnya mati. “Lo nggak bawa charger?”

Maroona menggeleng. Lovanoga beralih pada tas kecilnya dan mengeluarkan kabel pengisi daya ponsel untuk ponsel Maroona. Ia kembali duduk di samping adiknya lalu mengusap kening Maroona. “Masih pusing?”

Maroona menggeleng lagi. “Kepalaku sakit banget, Kak. Kalo buat tiduran malah makin nggak karuan rasanya.”

“Dokter udah ke sini lagi?”

Maroona menggeleng lemah. “Mungkin abis ini dokter dateng, katanya mau periksa tensi aku lagi.”

“Mama sering kambuh hipertensinya,” tiba-tiba saja Lovanoga ingin bercerita tentang Mamanya—yang juga otomatis Mama dari Maroona—Auxilia. Maroona hanya diam dan menyimak sambil menatap mata Abangnya lekat. “Mama sering banget kambuh hipertensi-nya, ngeluh pusing sama sakit kepala, tapi sendirinya nggak mau kurangi konsumsi garam. Mama tuh keras kepala.” Lovanoga sedikit terkekeh, sejenak melupakan perdebatannya dengan Mama Papanya beberapa waktu lalu.

Sekarang, Lovanoga balik menatap Maroona. “Jangan-jangan.. lo bandel juga kayak Mama ya? Sering makan yang asin-asin?”

Bibir Maroona sedikit mengembang. “Hehe, iya Kak, abisnya enak!”

“Mulai sekarang kurangin, ya. Gue nggak bakal larang lo makan yang asin-asin kok, asal lo bisa kontrol aja, oke?” Maroona mengangguk lantas mengusap lengan Lovanoga. Ada rasa canggung berbaur dengan rasa bahagia setelah bertemu Lovanoga. Kakak yang baik dan perhatian, pikirnya.

“Makasih ya, Abang.”

“Apa tadi? Lo panggil gue ... abang?” Lovanoga sedikit terkejut mendengarnya, Maroona mengangguk lagi dengan senyum yang mengembang.

“Iya, lebih asik panggil abang dibanding kakak, hehe,” ucap Maroona tersipu. Lovanoga langsung mencubit pelan salah satu pipi Maroona.

“Ahahaha, lo gemeees banget!”

“Ih sakit abang!” rengek Maroona. Dapat terlihat di sini perbedaan Maroona, ia terlihat lebih manja ketimbang dahulu tanpa seorang kakak laki-laki.

Tok tok tok

“Permisi, saya dokter Adrian Agustama,” teriak seseorang dari luar.

“Silakan masuk, Dok!”

Ceklek

Seorang berpakaian rapi dengan jas putih kebanggannya sudah masuk sambil membawa beberapa alat. Ia akan memeriksa tensi Maroona lagi. Penderita hipertensi akan selalu diperiksa beberapa kali guna memantau naik-turunnya darah pada tubuh.

“Saya akan memeriksa pasien, bersedia?”

“Silakan, Dok.” Lovanoga berdiri serta mempersilakan dokter Adrian Agustama untuk memeriksa Maroona. “Oh iya, Dok, saya di sini aja nggak apa-apa, kan?”

CdM 2: Ketik Ketuk Hati || UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang