14 Desember
Hari yang benar – benar kacau. Gua harus pulang dengan rambut, dan seragam yang basah Cuma karena satu orang. Satu orang yang menyebalkan!
Lisa kembali membaca buku hariannya sebelum ia benar – benar keluar dari kamarnya. Tanpa ia sadari tangannya sudah mengepal dan badannya pun menegang mengingat kejadian satu hari yang lalu. Dengan tiba – tiba dia disiram dan diancam dengan ancaman yang tidak jelas.
- - - - - - - - - -
Nata terbangun dari tidurnya karena alarm yang dia pasang telah berbunyi. Sebenarnya ia masih kaget dengan kejadian kemarin, tepat pada tanggal 14 Desember. Dia berpikir kalau saja dia tidak bertanya kepada Riki pasti kejadian itu tidak akan terjadi. Dengan gontai dia memasuki kamar mandi untuk membilas seluruh tubuhnya.
Dia melirik jam yang ada di rumahnya. Betapa terkejutnya dia. 15 menit lagi sudah setengah 7 itu berarti 15 menit lagi kalau dia tidak berangkat sekarang maka dia akan terlambat. “Adek! Bisa ga sih cepet? 15 menit lagi masuk!” Dan benar adiknya baru saja keluar dari arah dapur dengan jalan yang pelan, atau mungkin sengaja ia pelankan.
Nata semakin geram. “Jadi cewe lama banget sih? Mau tanggung kalo sampai telat?”
“Ya udah sih kak, sabar aja. Ga akan telat juga” Jawab adiknya itu dengan sangat ringan. Seakan – akan dia tidak memiliki beban.
Mereka pun berangkat.
Tepat saat bel berbunyi Nata baru saja menunjukkan wajahnya di depan kelas. Dia sangat bersyukur karena tidak terlambat. Kalau memang terlambat, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa adiknya akan menerima sebuah ganjaran yang besar untuk menanggung Nata yang terlambat.
“Tumben Nat datengnya siang” Ujar Raina dari belakang. Raina memang selalu duduk tepat di belakang Nata.
Lisa hanya melirik sekilas, berusaha mengabaikan kejadian ini. Dia tidak ingin masuk ke dalam obrolan mereka lebih jauh.
Suara pintu terbuka dan beberapa detik kemudian muncul guru ekonomi yang terkenal tradisionalnya, atau mungkin terkenal dengan guru yang tidak ingin mengikuti perkembangan zaman. Sekarang sudah zaman modern, sudah abad ke-22, sudah mengenal ponsel canggih, sudah mengenal laptop keren dengan berbagai macam merk, sudah mengenal proyektor. Tetapi untuk guru ekonomi yang satu ini seakan – akan tidak mengenal itu semua. Dia tetap menggunakan OHP (Over Head Proyektor) walaupun sudah tersedia proyektor di kelas. Dia tetap menggunakan kertas – kertas transparan padahal sekarang zaman sudah memperkenalkan akan alat yang lebih canggih yakni sebuah laptop, mudah untuk di gunakan dan juga mudah untuk dibawa kemanapun yang kita mau.
Tidak ada yang berubah dari kegiatan masing – masing murid di kelas. Ada yang tetap asik dengan makanannya. Ada yang tetap serius dengan obrolan bersama temannya, dan ada pula yang tetap sibuk memandang ke ponselnya, termasuk Lisa. Dia tetap menjelajahi dunianya di ponselnya itu. Wattpad. Sebuah aplikasi yang akhir – akhir ini mulai menemani kehidupannya yang sedikit dipenuhi oleh masalah.
Akhirnya waktu istirahat tiba. Lisa segera bangkit dan mulai berjalan keluar kelas. Dia menghiraukan pandangan teman – temannya yang memandang dengan aneh.
“Lisa kenapa?” Tanya Nata di sela – sela waktu ia makan bersama dengan Raina. Sudah menjadi kebiasaan rutin sejak mereka mulai dekat.
“Ga tau, dari tadi pagi. Udah diem kayak gitu. Mungkin masih marah dengan kejadian kemarin” Jawab Raina seadanya. Dia memang benar – benar tidak tahu ada apa dengan temannya yang satu itu.
Lisa lebih memilih disini. Di UKS sekolah, dia salah satu bagian dari UKS ini makanya sekalian dia berjaga, sekalian juga dia menenangkan diri. Lisa mengeluarkan ponselnya dari kantung rok sekolah. DIa memandang layar ponsel sedikit lama sebelum menghidupkannya.
Tiba – tiba seseorang yang tidak ingin Lisa lihat berdiri diambang pintu UKS. Dia tetap memandang dingin ke wajah Lisa. Lisa bisa merasakan aura itu.
“Ada apa?” Tanya Lisa berusaha setenang mungkin
“Ada handsaplast? Tangan gua luka” Tanya orang itu sambil memberi tahu alasan walau tidak di minta.
Lisa bangkit dari kursinya yang cukup nyaman. Bergerak menuju lemari dan tangannya bergerak mengambil kapas, obat merah, dan juga handsaplast.
“Duduk” satu kata yang bertujuan untuk memerintah dia supaya duduk tepat di hadapan Lisa.
Dengan perlahan Lisa mulai membersihkan luka orang itu. Orang yang juga telah menaruh luka di hati Lisa. Dia paling benci dengan orang yang iri pada dirinya dan juga teman – temannya.
“Gua akan tetep obatin lo, walaupun gua benci sama lo. Karena ini tugas gua sebagai PMR disekolah ini” Ujar Lisa secara tiba – tiba, seakan dia tahu bahwa orang didepannya ini ingin berkata ‘gua bisa ngobatin ini sendiri’.
“Selesai, lo bisa keluar” Ujar Lisa.
Ajeng, orang yang sedari tadi berada di UKS karena tangannya berdarah itu segera bangkit dari kursi yang dia duduki tanpa berbicara sepatah katapun.
“Tapi,”
Tapi ucapan satu kata Lisa yang sengaja terpotong itu membuat Ajeng diam tidak jadi melangkah
“Tapi, lain kali buka sepatu lo. Kalau lo emang bisa baca seharusnya lo tahu itu. Karena tulisan itu ada di pintu” Lanjut Lisa tanpa memandang wajah Ajeng, dia tetap fokus merapihkan obat – obatan yang ada di lemari.
Lisa melirik jam yang dengan setiap selalu berada di pergelangan tangan kanannya itu. Sudah selesai gua membuang waktu, batin Lisa.
Dia segera memakai sepatunya dan kembali ke kelas. Tetapi dia tidak duduk ditempatnya. Justru duduk di kursi paling belakang, karena kursi itu memang tepat berada di belakang kursinya dan kursi itu juga kebetulan kosong.
Hari ini entah mengapa, Lisa malas berbicara dengan orang. Dia ingin sendiri. Dia ingin menghabiskan waktu untuk merenungi sesuatu yang mungkin tidak jelas untuk orang lain. Tidak jelas mengapa permasalahan seperti itu saja harus direnungkan.
Tetapi bagi Lisa itu penting. Bagi Lisa pertemanan itu lebih penting dibandingkan dengan nilai sempurna disemua pelajaran. Sangat sulit bagi Lisa untuk mendapatkan teman, tetapi sangat mudah untuk mendapatkan sebuah musuh.
Waktu terus berjalan. Meninggalkan Lisa yang terus berkutat dalam pikirannya sendiri. Tapi akhirnya waktu yang ditunggu Lisa, atau mungkin bukan hanya Lisa datang. Waktu untuk pulang. Lisa yang telah merapihkan alat tulisnya sejak 10 menit sebelum bel langsung berdiri dan berusaha meninggalkan kelas dengan cepat.
Semua temannya, termasuk Raina, Nata, dan juga Tami sangat merasakan keanehan dalam diri Lisa. Seorang Lisa yang biasanya selalu memiliki rasa perhatian lebih kepada teman – temannya. Seorang Lisa yang biasanya memiliki tingkat keramahan diatas rata – rata sekarang menjadi seorang Lisa yang pendiam. Seorang Lisa yang dingin, dan tidak mementingkan lingkungannya.
- - - - - - - -
Hari semakin berlalu. Ini sudah hari ke empat sejak Lisa menjadi seorang yang pendiam. Sudah hari ke 5 sejak kejadian Lisa disiram didepan teman – temannya. Tapi setelah beberapa hari Lisa merenung, ia baru tersadar. Tidak salah orang menilai kita berkelompok. Tidak saja jika orang menilai kita seakan – akan hanya peduli dengan kelompok kita sendiri. Karena Lisa memang duduk disekitar orang – orang itu. Hanya orang – orang itu dan tidak pernah berganti.
Tapi dia juga merasa seharusnya dia tidak meras bersalah. Lagi pula dia hanya membuat kelompok belajar. Bukan sebuah kelompok yang tidak pernah berbaur dengan sesamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Best) Friend
Teen FictionHanya ajal yang dapat memisahkan persahabatan kita. Pikir Lisa ketika ia baru saja mengerti arti kehidupannya kini. Walau ini berawal hanya dari multi-person chat in Line tapi ia sungguh mengerti bahwa ia bersama kesepuluh temannya yang akan menjadi...