Selamat melanjutkan membaca :)
- - - - - - - - -
Genta membanting tasnya di sembarang tempat dan langsung merebahkan dirinya di atas kasur walau masih dengan balutan seragam sekolah.
“Yaelah apaan sih kak, sampai dibanting segala” Ujar adeknya setelah menurunkan buku yang sedang di bacanya hingga terlihat wajahnya.
“Ga usah berisik” Komentar Genta.
- - - - - - - - - - -
“Gua kira ga akan ada yang peka tentang Nata yang tiba – tiba keluar gitu aja” gumam Lisa sambil meraih ponselnya.
Dia membuka dinding percakapan dengan Genta, dan ternyata belum ada tanda –read– untuk linenya kemarin. Tetapi sedetik kemudian langsung ada tanda –read–, dengan terburu – buru Lisa segera menutup dinding percakapan itu.
- - - - - - - - -
Ara telah berhasil menuruni anak tangga terakhir dan telah berhasil menajajaki lantai satu gedung sekolahnya. Tiba – tiba matanya menangkap punggung seseorang yang sangat ia kenal. Punggung itu berbalik sepertinya karena ada orang lain yang memanggil dirinya.
“Lo bisa sama orang lain ceria, sama orang lain tersenyum bahagia. Tapi kenapa saat lo sama gua seakan – akan senyum itu ga pantas untuk gua? Kenapa lo sekarang ga pernah lihat mata gua, lo selalu lihat ke arah yang lain saat ngomong sama gua” Gumam Ara sambil melangkah mendekati punggung itu.
Semakin dekat dan semakin dekat Ara mendekati punggung itu. Tetapi semakin jauh juga punggung lelaki itu bergerak. Ara mencoba untuk berjalan lebih cepat hingga dia sedikit berlari untuk mengejar lelaki itu. Lelaki yang selama ini selalu menetap di hatinya. Lelaki yang selama ini ia pikir bisa menjadi yang terbaik untuk dirinya.
“Nio!” Ara memanggil nama yang sedari tadi hanya bisa ia lihat punggungnya.
Lelaki yang dipanggil itu membatalkan kegiatannya mengambil helm. Dia kembali melepaskan tangannya dari helmnya, dan dia berbalik hanya sekedar untuk melihat seseorang yang sebenarnya tak ingin dia lihat.
Arsen bisa melihat rasa sedih, sakit, kecewa, marah walau hanya melihat mata gadis yang sekarang berada di depannya. Sebenarnya bukan hanya gadis itu yang merasakan kesedihan dan kepedihan, tetapi Arsen pun sama. Sama merasakan sedih. Sama merasakan marah. Sama merasakan kecewa. Tapi perbedaannya ada pada alasannya.
Arsen kecewa karena dirinya sudah tidak bisa menjadi seperti yang dahulu. Dia kecewa karena dia ternyata mengingkari janjinya sendiri yang dia buat. Dia marah karena dia telah menjadi lelaki yang tidak pantas untuk dicintai oleh gadis di hadapannya ini.
Tidak ada yang saling berbicara. Hanya helaan napas yang keluar dari dua insan ini. Tapi secara reflek Ara mengepalkan tangannya. Menahan rasa amarah yang selama ini dia tahan. Menahan rasa benci yang selama ini ia ingin ungkapkan. Menahan rasa sakit yang selama ini menyayat hatinya.
Ara menghela napasnya sekali lagi.
“Kamu tahu ga sih? Kalau dulu aku suka merhatiin kamu dalam diam? Aku suka ngeliatin kamu saat kamu itu mulai berinteraksi sama temen kamu yang lainnya. Tetapi ada suatu ketika aku cemburu. Aku cemburu ngeliat kamu kalau lagi ngobrol sama perempuan dan keliatannya itu kamu bahagia banget. Haha, lucu ya” Ara menghentikan ucapannya. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Arsen.
Tak ada reaksi apapun. Arsen hanya diam.
“Tapi ketika aku tahun perasaan kamu ternyata sama kayak aku, aku seneng banget. Rasanya dunia itu telah memberikan yang aku inginkan. Kamu semakin deket sama aku. Sampai aku pun tahu kebodohan kamu, kekurangan kamu, aib kamu, kelebihan kamu, apa yang ga kamu suka, apa yang kamu suka” Lanjut Ara dan diakhiri dia menarik napas dalam – dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Best) Friend
Teen FictionHanya ajal yang dapat memisahkan persahabatan kita. Pikir Lisa ketika ia baru saja mengerti arti kehidupannya kini. Walau ini berawal hanya dari multi-person chat in Line tapi ia sungguh mengerti bahwa ia bersama kesepuluh temannya yang akan menjadi...