Bab 18

18 0 0
                                    

Mulai sekarang cerita ini akan dari sisi LISA terus yaa,, jadi ini POV Lisa. Kenapa begitu? Diakhir cerita ini, alias di bab terakhir kalian akan tau alasannya. Selamat membaca –Araitri.

- - - - - - - - - - -

Memang benar yang namanya hidup itu ga mungkin semulus kaca. Well, kalian aja pasti tahu kalo kaca itu bisa pecah, kaca itu bisa retak, kaca itu bisa dibentuk sesuai yang kita mau, tapi terkadang ekspetasi sama realita beda. Kalo itu emang yang terjadi, yaa mau gimana lagi. Iya ga?

Di sinilah aku sekarang, terdampar di sebelah Nata, di belakang Shafira, dan di serong kiri belakangnya dari Tami. Ya! Karena kami berempat itu sekelas. Bukan hanya kita yang sekelas. Ada Genta sama Arsen juga yang sekelas sama kita.

Ah iya, kalian pasti bingung kenapa cuma kita berenam yang sekelas. Jadi sekarang kita semua udah kelas 12, dan kelasnya itu di ACAK! Dan jujur aku benci itu karena aku udah terlalu nyaman dengan kelas yang dulu. Aku bersama 8 orang dari kelas yang sama terdapar di kelas asing ini.

"Hoho, ga kerasa ya udah kelas 12 aja" Ujar seseorang ketika aku dan tiga kawanku ini keluar kelas untuk upacara bendera.

Aku hanya menanggapi sekilas. Rasanya berbeda dari yang sebelumnya. Rasanya seperti sewaktu pertama kali menjajaki sekolah ini, rasanya seperti ini yang pertama kalinya kalian berkenalan dengan teman kalian.

Upacara itu berlanjut, berlanjut dengan guyuran panasnya sinar matahari yang mampu membuat keringat di punggung ini berjalan.

Tidak, bukan hanya upacara yang terus berlanjut, namun waktu terus berjalan. Detik berlalu, menit pun berlalu diiringi jam dan hari yang silih berganti.

- - - - - - - - -

"Hei! Kalian yang dibelakang, ngobrolin apa sih sampai ibu dilupakan?"

Orang yang didepanku terhenti dari ucapan – ucapan yang membuat kepala ini sedikit pening. Dia kembali mengahadap dimana papan tulis berada. Aku tahu kalau yang dimaksud guru itu ada aku dengan orang didepanku ini. Namun, nyatanya aku tidak menanggapi, aku hanya membiarkan semua ucapannya masuk telinga kiri dan keluar di telinga kanan, karena aslinya aku benar-benar sedang fokus untuk mendengarkan apa yang diterangkan oleh guru bimbingan konseling ini.

"Na, Jumat jadi?" tiba-tiba Shafira bertanya ketika baru saja guru bimbingan konseling itu melangkah keluar dari kelas.

"Mungkin jadi, nunggu keputusan Nata, kan yang mau ngobrol itu Nata" terang Raina.

Shafira hanya mengangguk – angguk.

- - - - - - - - - -

Ha! Ini baru jam pelajaran kedua, tapi dia sudah seberisik ini! Tidak berbusa apa itu mulut?

Yap! Aku berusaha untuk menahan amarah yang hampir memuncak ini. Jujur, aku benci dengan kebisingan disaat setelah ada kebisingan itu semua seperti memperhatikan disekitarku. Dia tidak tahu tempat, dia tidak tahu waktu. Dia, Shafira dengan santainya bernyanyi ketika pelajaran sedang berlangsung yang membuat satu kelas akhirnya menatap kepadanya, dan juga membuat guru diam, tidak melanjutkan belajarnya. Namun, satu yang membuat aku menjadi mendidih. Dia tidak menyadarinya dan tetap melanjutkan nyanyiannya itu.

"Fir! Stt" aku mencoba untuk memperingatkan.

"Ah elah ga denger lagi" gumamaku.

"Shafira, diem" sekarang Raina mencoba. Namun, tetap tidak ada respon dari Shafira.

Hingga aku sudah benar-benar jenggkel dan aku kembali memangilnya dengan suara yang lebih keras "Shafira!"

"Apa sih?" justru dia yang membalasku semakin keras dan emosi.

(Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang