BAB 4

786 121 7
                                    


Saga mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, meskipun sesekali ia melirik ponselnya yang masih memperlihatkan senyuman indah Ashley. Setan dalam hati mencoba untuk mengganggu konsentrasinya. Mungkin ada baiknya untuk menghubungi Ashley sekarang, sudah satu minggu mereka putus kontak. Lagi-lagi malaikat dalam hatinya menentang. Jika Ashley masih memiliki keinginan yang sama besarnya dengan Saga untuk mempertahankan hubungan mereka, pasti Ashley tidak akan membiarkan Saga untuk mengulur waktu terlalu lama. Laki-laki itu mencoba untuk berpikir dengan rasional, mungkin hubungan mereka memang sudah berada di batas akhir.

Ketukan pintu ruangannya membuat Saga mengalihkan pikirannya. "Siapa?"

"Saya, Pak." Suara Lena terdengar dari luar.

"Masuk." Saga menatap datar Lena yang pagi itu terlihat ceria. "Kenapa?"

"Pak Saga mau minum kopi atau teh?" Itu pertama kalinya Lena menawarkan sesuatu pada bosnya.

"Biasanya Joshua kalian buatin apa?"

Lena menatap langit-langit ruangan Saga. "Hm... Kopi panas, Pak."

"Ya sudah, buatkan saya kopi saja."

"Okey, Pak. Sebentar ya, Pak."

"Hm." Saga masih menatap datar Lena hingga gadis itu menghilang di balik pintu ruangannya.

Saga kembali memeriksa laporan keuangan restoran selama satu tahun terakhir. Ia mengerutkan kening. Pantas saja restoran itu terancam bangkrut. Pengeluaran mereka satu tahun terakhir 5% lebih besar dari keuntungan mereka. "Masih bisa jalan satu tahun aja sudah bagus. Tapi kalau begini terus, keuntungannya mana ada? Lama-lama bisa bangkrut benaran." Ia mengurut keningnya.

Saga mencari nama Joshua di ponselnya. ia menunggu beberapa saat hingga sambungan telponnya diangkat oleh Joshua. "Josh, ini gimana sih? Gue check laporan keuangan satu tahun terakhir tapi kenapa kacau begini?"

"Itu yang mau gue bahas, Ga. Restoran ini berkali-kali coba buat bangkit dengan menggunakan berbagai banyak promo. Tapi persaingan makin ketat."

"Inovasi menu dong. Gimana sih lo? Lo pernah nggak evalusi chef kita? Itu Darwin bisanya cuma bantu di dapur doang? Dia nggak punya kreasi apa?"

"Dia juga masak, Ga. Tapi kita masih pakai menu lama. Itu keinginan Bos."

Saga berdecak kesal. "Sekarang Bosnya itu gue, bukan Kakek gue. Gue yang putusin menu apa saja yang bakal kita jual. Gue nggak suka ada metode-metode restoan harus beginilah, harus begitulah. Gue yang urus semua. Siang nanti gue mau kalian bertiga ketemu gue. After lunch." Saga memutuskan sambungan telpon lalu melempar ponselnya ke atas meja. "Pantesan bobrok."

Pintu ruangannya kembali diketuk. Lena masuk membawakan kopi panas untuk Saga. "Kopinya, Pak," kata gadis periang itu sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja Saga.

"Iya, makasih ya." Setidaknya ada kopi yang bisa membuatnya sedikit tenang. Namun ketika ia mencicipi kopi panas buatan Lena, Saga hampir saja tersedak.

"Kenapa, Pak?" Lena panik.

"Kamu masukin berapa kilo gula sih ke kopi saya?"

"Hah?"

"Hah, hoh, hah. Kamu mau saya kena diabetes ya?!" teriak Saga sembari meletakkan cangkir di atas meja dengan kasar. "Bawa lagi nih kopinya, nggak enak banget."

Dengan tangan yang gemetar, Lena mengambil cangkir kopi dari meja Saga. "M-maaf, Pak. Saya buatkan lagi ya?"

"Nggak perlu. Sana keluar!" usir Saga tanpa ia sadar telah menyakiti perasaan Lena. "Nggak ada yang benar." 

OK BOSS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang