Jalanan di pagi hari selalu ditumpahi oleh penduduk ibu kota yang bersiap menuju kantor mereka masing-masing. Dengan setelan yang rapi, mereka berlari mengejar busway yang hampir tiba di halte. Jika mereka terlambat beberapa detik, busway akan melaju begitu saja dan membuat mereka harus menunggu armada berikutnya.Seorang gadis tertawa melihat pemandangan sibuk itu. Dari balik masker kainnya, gadis itu berkata, "Makanya, berangkat kerja itu naik sepeda." Dengan sombongnya ia membunyikan sepedanya, hanya untuk meledek. Kemudian ia kembali menggoes sepeda warisan kakak laki-lakinya.
☆★☆
Bearticia Analemma. Nama itu tertulis dalam sebuah amplop putih yang kini sudah berada di atas meja di hadapan sang pemilik nama.Beatrice mendongak, demi bisa menatap wajah bosnya yang kini berdiri di sampingnya. "Ini apa, Bos?"
"Upah terakhirmu. Besok kamu nggak perlu datang lagi ke sini ya." Sang pemilik restoran tempatnya bekerja mengusap bahu gadis berusia 28 tahun itu. "Saya sudah nggak punya kemampuan buat selamatin restoran ini lagi. Dan minggu depan saya sudah harus pindah dari tempat ini karena pemilik ruko ini sudah punya calon penyewa yang baru."
Beatrice bangkit dari kursi yang didudukinya. "Terus saya gimana dong, Bos?"
"Ya kamu masih muda, Beatrice. Kamu bisa cari pekerjaan yang lebih baik dari tempat ini."
"Usia 28 tahun itu sudah tua menurut orang Indonesia," kata Beatrice. "Nikah aja ditanyain melulu," tambahnya pelan. "Terus yang lainnya?"
"Yang lainnya sudah saya beritahu. Kamu yang terakhir. Mereka juga saya beri pengertian. Ya... gimana lagi ya? Saya sudah nggak punya kemampuan dan persaingan semakin ketat memang."
"Pak Bos nggak punya solusi lain?"
Sang pemilik restoran menggeleng. "Saya sudah hopeless. Saya nggak mau ambil resiko untuk pinjam ke bank supaya bikin inovasi baru yang belum tentu berhasil."
"Bukan buat restoran ini. Tapi buat kerjaan saya nanti, Bos."
"Heh?" Pemilik restoran menatapnya kesal. "Ngapain saya mikirin kamu? Kurang kerjaan banget. Cari kerja sendiri!" katanya ketus lalu meninggalkan Beatrice.
"Yah, Bos, kok pergi? Bos? Booos? I love you, Bos."
"Gue sudah punya istri!"
☆★☆
"Lo dipecat?" tanya Brian, kakak laki-laki Beatrice.
"Semua dipecat, kasir juga dipecat, bahkan dia memecat dirinya sendiri dari posisi bos." Tubuh Beatrice melemah seolah meleleh di atas meja makan dapur rumah mereka. "Terus gue mau kerja di mana ya, Kak?"
Brian mematikan kompor lalu menuang air panas ke dua gelas yang sudah berisikan bubuk susu cokelat. "Sudah buka situs cari kerja?"
"Sudah, sejak gue di-PHK. Tapi nggak ada yang cocok."
"Jangan nyerah lah." Brian mengaduk susu cokelat di cangkir mereka. "Nggak segampang itu dapat kerja." Ia menggeser salah satu cangkir ke depan adiknya.
"Nah itu! Udah tahu cari kerja susah, pake segala pecat gue."
"Tjk!" Kakaknya makin kesal. Brian menyentil kening adiknya hingga gadis itu meringis. "Lo bego atau stupid sih?"
"Ish... Apa bedanya?" Ia mengusap keningnya.
"Bos lo itu sudah nggak sanggup. Bangkrut."
"Mike bukan bangkrut." Beatrice melipat kedua tangan di depan dada. "Dia nggak mau ambil resiko. Gue tahu itu. Dan dia lebih milih untuk punya usaha baru -online shop, yang nggak perlu banyak pegawai. Gue pernah nggak sengaja lihat semacam catatan di laptop dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
OK BOSS!
RomanceSiapa bilang punya bos temperamental bikin pegawainya makan hati? Buktinya, Beatrice dan kawan-kawan justru yang selalu bikin bos mereka pusing setengah mati. Beatricia Analemma (Beatrice) Donald Sagara (Saga)