BAB 18

564 83 2
                                    


Lima jam berlalu setelah Saga tiba di rumah sakit. Pertama kali dalam hidupnya, ia melihat Kakeknya berjuang dalam menghadapi penyakit. Sejak kecil, yang ia tahu Kakeknya adalah orang yang selalu melakukan gaya hidup sehat, namun penyakit sepertinya tidak memandang siapa orang tersebut.

Saga teringat bagaimana Kakeknya menjaga dirinya dan Dave ketika orang tua mereka harus pergi meninggalkan mereka. Kakeknya tidak pernah membiarkan mereka terlalu lama larut dalam kesedihan. Setiap akhir pekan, mereka akan selalu dibawanya pergi ke sebuah tempat wisata. Mereka bersenang-senang dan menikmati banyak makanan enak. Hingga suatu hari Saga menemukan Kakeknya yang sedang memandangi foto Ayahnya. Kakeknya menangis dalam kesunyian. Ternyata laki-laki tua itu hanya berpura-pura tegar demi cucunya. Sejak saat itu, Saga bertekad akan menjadi anak yang lebih kuat dan akan menjaga Kakeknya dan Dave. Hanya dua orang itulah yang Saga punya hingga saat ini.

Namun ketika ia melihat Kakeknya sesak napas dan harus menggunakan alat bantu oksigen, Saga merasa dirinya tidak berguna sama sekali. Kini wajah Kakeknya sudah berangsur kembali normal setelah sebelumnya sempat pucat dan hampir membiru. Saga hanya bisa menatap Kakeknya yang tertidur lemah di atas ranjang rumah sakit.

Seorang laki-laki paruh baya yang sudah menjadi supir Kakeknya selama puluhan tahun berdiri di samping Saga yang masih duduk merenung di samping ranjang. Ia meremas bahu Saga, seolah ingin menguatkannya. "Kamu butuh istirahat."

Saga menggeleng. Ia tak ingin lagi lengah dan akan terus terjaga untuk Kakeknya.

"Saya bakal di sini malam ini. Dave juga sudah dihubungi dan besok siang pasti sudah sampai. Dokter spesialis pun besok pagi baru kunjungan. Tapi kamu kelihatan butuh istirahat."

"Nggak apa-apa, Pak Pras. Saya harus di sini."

Joshua yang baru saja masuk ke dalam ruang VIP itu pun melihat Saga yang makin pucat karena lelah. Malam sebelumnya ia tidak bisa tidur tenang, ia bahkan menginap di Pavlova. Kini ia harus berada di rumah sakit sementara kondisi tubuhnya terlihat kurang baik. Joshua harus mengingatkan Saga. "Ga, lo balik dulu aja. Biar gue sama Pak Pras yang tungguin Kakek di sini."

"Nggak, Josh."

"Tapi lo butuh istirahat. Semalam lo nggak tidur tenang, lo bahkan nggak makan hari ini selain sarapan. Gimana lo ..."

"Gue bilang, nggak!" Saga sedikit berteriak. Ia bangkit berdiri. Tidak peduli ia melihat Beatrice di belakang Joshua yang kini berdiri ketakutan karena teriakannya. "Gue sudah kehilangan orang tua gue, dan sekarang gue harus lihat Kakek di sini. Di depan mata gue. Dia bahkan belum lihat gue setelah dia sadar dari pingsannya. Terus lo minta gue pulang? Lo mau lihat gue nyesel seumur hidup?"

"Bukan begitu, Ga. Lo harus lihat kondisi lo. Jangan sampai lo drop juga."

"Gue baik-baik aja."

Joshua hanya bisa mendesah pasrah. Ia tahu ia tidak bisa memaksa Saga.

"Kak Saga nggak harus pulang kok. Tidur di sini juga bisa, kan ada ranjang untuk keluarga yang jaga. Tapi Kak Saga harus makan dulu. Buat tambah tenaga." Beatrice melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangannya. "Yuk! Aku temani ke kantin." Meski ia tidak yakin kantin masih buka.

Saga tidak merespon. Ia kembali menatap wajah Kakeknya. Meski hanya diagnosa dari dokter jaga, ia tetap merasa khawatir dengan kondisi Kakeknya. Ia tidak ingin lengah sedikit pun. Namun ia merasa sedikit kekhawatirannya mulai menguap saat merasakan sentuhan lembut di tangannya. Saga menoleh dan melihat Beatrice menggenggam tangannya kemudian membawanya untuk keluar dari ruangan.

"Kita makan dulu. Setelah itu kita balik ke kamar Kakek."

Saga hanya menunduk sepanjang berjalan di koridor. Ia menghentikan langkah. Membuat Beatrice ikut berhenti.

OK BOSS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang