BAB 3

803 116 4
                                    


"Donald?" Brian mengerutkan keningnya ketika nama itu keluar dari bibir Beatrice. "Donald Sagara?"

"Ya iyalah, Kak. Memang ada Donald yang lain? Donald Bebek?" Beatrice melemparkan kunci mobil Brian ke udara berulang-ulang. "Dia beda banget tahu, Kak. Nggak kayak Kak Donald yang dulu. Dan nama panggilannya pun bukan lagi Donald, tapi Saga."

"Dari kecil dia memang dipanggil Saga, anak-anak sekolah saja yang panggil dia Donald. Terus, kalian ngobrol?"

"Boro-boro ngobrol, senyum saja dia nggak mau. Dibilangin, dia tuh sudah beda. Bukan Donald yang dulu lagi"

Brian berpikir dalam beberapa saat, lalu ia menyeringai. Ia menggeleng pelan sambil berdesis. "Dasar."

"Kenapa, Kak?"

"Mungkin dia masih dendam sama gue."

"Dendam? Bukannya kalian teman dekat ya?"

"Dulu." Brian mengambil napas sedalam mungkin lalu menyandarkan kepalanya di sofa. "Waktu SMP ada cewek yang dia suka. Cewek itu dekat dengan kita berdua dan..." Brian menoleh pada adiknya. "Gue nggak tahu sama sekali kalau dia suka sama cewek itu. Dia nggak cerita. Sampai tiba-tiba, hari terakhir di mana gue sama Saga bicara empat mata. Eng... bukan bicara sih, lebih tepatnya Saga hajar gue."

"Hah? Kak Donald? Hajar juara Karate tingkat Nasional? Kok bisa?"

Brian mengacak-acak rambut adiknya. "Ya bisa lah, Bi. Namanya juga emosi."

"Tunggu, tunggu. Gue nggak ngerti deh. Dia hajar Kak Bri, tonjok gitu? Ya tapi kenapa?"

"Ya jelas karena dia ditolak sama cewek itu. Cewek itu sukanya sama gue."

"Yaaa... kok aneh? Hak setiap orang dong mau suka sama siapa. Iya kan?"

"Iya sih." Brian mangambil kunci mobilnya dari tangan Beatrice. "Dia emosi, karena sehari sebelum dia ditolak, gue sudah lebih dulu tolak cewek itu tanpa sepengetahuan dia. Drama banget nggak sih? Gue berasa lagi main sinetron waktu itu." Brian tertawa. "Sejak itu dia nggak pernah mau sapa gue lagi, nggak pernah mau duduk semeja sama gue lagi. Lulus SMP, dia pindah ke luar negri. Dan... ya, ini kabar baru dari dia setelah 20 tahun dia menghilang."

Beatrice menganga mendengar cerita kakaknya. "Gue kira selama ini kalian baik-baik saja lho. Dan lo tahu, Kak? Dia bahas omongan gue yang dulu. Yang gue pernah nembak dia. Anjir. Untung nggak didengar pegawai lainnya."

Brian bangkit berdiri sambil tertawa. "Lo sih, dari kecil sudah ganjen. Agresif. Jadinya umur segini jomblo deh."

"Yee... bagus dong gue mutusin pacar gue yang dulu. Kalau nggak, mungkin kalian berdua bakal jadi Tom and Jerry." Beatrice ingat betul bagaimana Brian bersikeras menyuruh Beatrice untuk putus dari John, mantan pacar Beatrice.

Menurut Brian, John adalah laki-laki yang tidak akan bisa memberikan masa depan yang baik untuk adiknya. Laki-laki itu akan terus menerus menguras uang adiknya hanya untuk bersenang-senang di kafe-kafe mahal.

"Nggak ada yang better," ucap Brian. "Pacaran sama orang macam dia atau jomblo, itu sama-sama nggak ada masa depan."

"Ish... masa depan lo tuh pikirin. Punya cewek nggak dikawinin sampai sekarang."

"Kawin? Lo kira gue ayam?" Brian menyentil kening adiknya. "Udah ah, gue mau pulang. Lo kapan pulang? Nggak kangen apa sama Husky?" Husky adalah kucing kampung yang sudah mereka adopsi selama delapan tahun.

"Hm. Kangen semua."

Brian berjalan menuju pintu keluar rumah petak yang Beatrice sewa. "Pulang. Biar gue nggak perlu mampir ke sini cuma buat check lo ada di rumah atau nggak."

OK BOSS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang