Cerita

15 6 0
                                    

Sudah lima belas menit mereka berdua duduk saling berdiam diri. Yang satu sibuk dengan pikiran sendiri, yang satu hanya menunduk takut.

"Jadi ...." lagi dan lagi Dirga terdiam tak jadi bicara. Zahra menghela nafas lagi, ia benci situasi seperti ini.

"Gue sama Laura itu temenan dari SD, pas SMP kita ngga seSMP lagi kak," jelas Zahra yang membuat Dirga yang tadinya menoleh ke arah lain sekarang menoleh ke arahnya.

"Kalo ngga ada yang mau kakak bicarain, gue pulang kak," Dirga segera menahan tangan Zahra. Perempuan itu menoleh dengan tatapan kesalnya.

"Gue mau bicara," ujar Dirga dengan raut muka datarnya. Zahra hanya menurut dan kembali duduk.

Sejak sepuluh menit yang lalu Vina mengirim pesan kepada Zahra kalau ia dipaksa pulang oleh Ilham.

"Gue pernah cerita ke lo kalo ngga bakal ada asap tanpa api," ujar Dirga dengan nada pelannya "iya, gue pernah mengalami masa yang bisa dibilang masa terburuk gue," tatapan datar Zahra sekarang berubah menjadi tatapan sendu.

"Gue ngga bisa cerita disini." putus Dirga membuat Zahra binggung, segera Dirga menarik pelan tangan Zahra agar perempuan itu berdiri, segera Dirga mengajak Zahra ke tempat yang waktu itu mereka datangi.

Mereka telah sampai disini, disebuah benteng tua yang dihiasi lampu taman membuatnya menjadi indah, suasana sore hari membuat tempat ini berkali kali lebih indah. Banyak orang yang mengabadikan momen sunset bersama orang tercintanya.

"Kakak kalo ngga bisa bilang jangan dipaksain," lirih Zahra.

"Ngga, gue bakal cerita, karena gue tau, lambat laun lo juga bakal tau," pandangan Dirga lurus kedepan, matanya menatap sendu kearah sana.

"Disini gue terakhir kali ketemu sama adik gue," wajah Dirga memerah akibat menahan air matanya jatuh, Dirga tidak selalu Dirga yang kuat dan pembuat onar. Setiap orang punya sisi terburuk masing masing.

Flashback on

Perempuan dengan seragam SMP itu terus merengek agar Dirga mau mengajaknya bejalan jalan, tujuannya hanya satu. Membuat Abangnya itu lupa akan kesedihannya.

"Bang, ayo ke Benteng," rengeknya sambil terus menguncang lengan Dirga.

"Abang, lagi ngga pengen kesana, Rel," ucap Dirga datar, matanya membengkak karena menanggis. Ini sudah 40 hari usai Papanya meninggal dunia.

"Tapi Aurel pengen Bang," rengek Aurel menampilkan muka cemberutnya.

"Lagian Abang ngga boleh sedih terus gini, Papa bisa ikut sedih Bang," lanjutnya.

"Ya udah, iya," balas Dirga dengan nada malasnya, ia saat ini tidak mau kemana mana.

Mamanya hanya memberikan uang untuk menyiapkan semuanya, wanita paruh baya itu tak mau ambil pusing tentang perihal Suaminya. Dirga setengah mati kesal karena wanita itu seperti tak mempunyai hati.

Disini lah Dirga dan Aurel sekarang, duduk di atas rerumputan menikmati pemandangan malam hari.

"Bang," panggil Aurel kearah Dirga yang terus saja berdiam diri.

"Menurut Abang, Aurel suatu saat bisa ngga dapet pacar kayak Abang?" tanya Aurel menatap Abangnya itu.

"Jangan!" ucap Dirga cepat "kamu harus cari yang lebih baik dari Abang," lanjutnya.

"Tapi bagi Aurel, Abang tuh dah yang paling the best."  ujar Aurel menyengir. Dirga terkekeh pelan kemudian ia mengusap puncak kepala Aurel.

"Jangan tinggalin Abang ya Rel," ujar Dirga sendu, entahlah perasaannya saat ini sangat aneh. Ia sangat takut kehilangan Adik satu satunya ini.

"Iya dong, Aurel ngga bakal tinggalin Abang," Aurel tersenyum lebar, perempuan ini merasa sangat beruntung memiliki abang seperti Dirga di sisinya.

My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang