sakit

33 17 4
                                    

Yang dilakukan Zahra sekarang adalah menunggu Dirga menggambil motornya diparkiran. Alqa sedari tadi sudah mewanti wanti, bagaimana kalau Zahra batalkan saja hal itu.
Namun, bukan Zahra namanya kalo membatalkan omongannya.

"Naik Ra," ujar Dirga memberikan helm yang selalu ia bawa di dalam jok motornya. Zahra hanya mengangguk ragu. Sedari tadi Alqa memperhatikan Zahra dan Dirga dengan perasaan kesal.

Sepanjang perjalan tak ada yang bersuara. Zahra hanya fokus pada pemandangan kota sore hari yang sangat indah, walau tertutup sedikit polusi. Sementara Dirga hanya fokus menatap lurus, ia binggung harus memulai pembicaraan bagaimana. Padahal dengan gadis lain ia sangat lancar berbicara.

"Udah sampe Ra." ujar Dirga menghentikan motornya disebuah parkiran pasar. Ini tempat yang rame dan indah saat sore dan malam hari karena akan dihiasi oleh banyak lampu lampu. Zahra terkagum melihat hal ini, ia tak pernah lagi kesini sejak terakhir kali saat ia masih kecil.

"Kita mampir ketempat makan dulu ya," ujar Dirga menunjuk sebuah warung kaki lima yang menjual nasi uduk. Zahra kira Dirga orangnya gengsian untuk ketempat seperti ini. Benar kata orang jangan menilai buku dari sampulnya.

"Mau makan apa Ra?" Tanya Dirga

"Apa aja kak,"

"Bu, disini ada nggak makanan namanya apa aja." ujar Dirga kepada pedagang warung itu.

"Nggak ada atuh mas Dirga," ujar ibu itu. Ibu Retno sangat mengenal Dirga karena ia sering kesini.

"Tuh Ra, nggak ada makanan namanya apa aja."

"Nasi uduk biasa aja kak," ujar Zahra yang canggung, ia canggung karena baru mengenal Dirga. Ia tak bisa langsung akrab kepada orang yang baru ia kenal. Dirga langsung memesan dua nasi uduk.

"Kenapa? Nggak nyaman ya tempatnya?" Tanya Dirga dengan nada canggung.

"Nggak kok kak." ucap Zahra cepat. Bukan ia tak suka dengan tempat ini, ia sangat suka malah. Namun, ia masih tak nyaman jika bersama Dirga.

"Nggak suka karena ada gue kan," Tebak Dirga dengan kekehan. Zahra hanya menunduk tak menjawab, dan Dirga tau artinya 'iya'.

"Gue ngerti kok, Ra. Lo tenang aja gue nggak bakal lama kok."

"Iya kak," tak lama nasi pesanan mereka datang dan mereka segera menyantap nya. Setelah itu Dirga membawa Zahra kesebuah bangunan tua yang dihiasi banyak lampu yang membuat tempat itu indah. Dirga mengajak Zahra duduk di rerumputan di sana.

"Lo tau kenapa gue ngajak Lo kesini?" Tanya Dirga dengan pandangan lurus ke depan. Zahra hanya menggeleng.

"Karena gue mau nge lurusin apa yang Lo bilang disekolah tadi. Lo bilang gue ngelakuin apapun buat dapet in apa yang gue mau." "dan gue bukan terhina, tapi gue malah makasih. Karena Lo udah ngingetin gue batas," ujar Dirga panjang lebar. Ia segera menatap Zahra yang ada disebelahnya. Tatapan Dirga membuat Zahra mengetahui itu bukan tatapan yang biasa Dirga tunjukan melainkan tatapan sendu.

"Lo tau kan setiap ada asap pasti ada api," ucap Dirga mengantungkan kalimatnya.

"Maksud kakak, kakak begini karena punya dendam?" Tanya Zahra memberanikan diri. Dirga kembali menatap ke depan. Ia tak tahu harus menjawab apa, apa ini dendam?

"Ya udah Ra. Kita pulang. Lagian udah gue lurusin kan," "inget ini Ra, gue bakal dapetin Lo. Tapi dengan cara yang bener bukan yang nggak bener." ujar Dirga penuh penekanan.

"Kenapa nggak orang lain aja kak," lirih Zahra, rasanya ia sudah sangat lelah dengan tingkah Dirga mendapatkannya.

"Karena Lo itu beda," ungkap Dirga jujur. Dari sekian banyak perempuan yang ia dekati hanya Zahra yang membuatnya berbeda.

My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang