Dua tahun kemudian
Sepasang mata sewarna coklat madu milik Rere hanya mengerjap melihat adegan yang tersaji di depannya. Tidak ada sedikit pun rasa iba maupun keinginan untuk menolong seorang wanita paruh baya yang ditikam berulang kali dengan pisau oleh sosok bertubuh jangkung di depan matanya. Mengabaikan teriakan dan lolongan minta pertolongan dari si wanita, dia mendengkus tak acuh kemudian melangkah pergi dari sana.
Jika ada yang berkata kalau dia tidak memiliki hati, dia akan mengakuinya. Karena pada kenyataanya hatinya memang sudah mati rasa. Mungkin sejak keputusannya pergi dari keluarganya atau memang jauh sebelum itu. Saat dia pura-pura hidup bahagia dengan penuh tawa.
Rere membenarkan tali tasnya yang melorot dan melanjutkan langkah kakinya. Dia harus secepatnya sampai ke rumah. Tubuhnya sudah sangat lelah karena aktivitas yang begitu padat. Ingin rasanya dia segera meluruskan punggung dan tenggelam dalam mimpi setelahnya. Agar seluruh kehidupan nyata akan mengabur untuk sejenak. Meski hanya sejenak.
"Kenapa kamu tidak menolongnya?" Pertanyaan bernada datar itu menghentikan langkah Rere.
"Karena aku tidak peduli." Rere menjawab dengan nada yang sama datarnya tanpa menolehkan kepalanya apalagi memutar tubuhnya.
Terdengar sebuah kekehan yang begitu mengerikan, tapi Rere tidak sedikit pun takut akan hal itu. Dia baru saja berjalan dua langkah saat seseorang yang dia yakini adalah pria dewasa kembali bersuara di belakangnya.
"Tidak punya hati, heh?"
Rere memutar tubuhnya tanpa ragu pun rasa takut. Disana, dalam jarak seratus meter dari tempatnya berdiri, dia melihat siluet seseorang tengah menjulang tinggi dengan mata yang berkilat penuh kekejaman.
Membalas tatapan tajam pria itu dengan sorot bosan, Rere berkata dengan nada yang membekukan.
"Mati rasa. Bahkan jika saat ini kamu menusukkan sebuah pisau tepat di jantungku, kamu hanya akan membuang-buang waktumu karena aku aku tidak akan merasakan ketakutan sedikit pun."
Mata itu kembali berkilat. "Mengesankan."
Mengabaikan respon si pria asing, Rere kembali memutar tubuhnya lalu berjalan menjauh dari sana. Mengaburkan seluruh kejadian yang baru saja terlewati. Melupakan segala hal yang tidak penting hari itu. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah ketenangan.
***
Kelopak mata Rere terbuka pelan kala kilau cahaya mentari pagi menerangi segala penjuru kamar dari dinding kaca yang sebagian tidak tertutup korden sejak semalam. Sejenak, Rere memakukan tatapan pada pemandangan kota berselimut kabut yang mulai menipis tertelan mentari. Menikmati detik demi detiknya dalam keheningan yang menenangkan hingga membuatnya enggan beranjak.
Sebuah pergerakan di sampingnya menyentak Rere dari keheningan. Dia langsung memutar kepalanya ke sisi yang berbeda dan menemukan seorang pria berwajah rupawan yang masih menutup mata. Dahinya mengernyit, mempertanyakan waktu kedatangan pria itu.
"Morning," sapa pria bernama Aksa dengan suara serak. Matanya menyipit demi menghalau cahaya yang menyilaukan mata.
"Kenapa kamu datang?" Rere bertanya tanpa basa-basi.
"Tidak ada alasan lain selain karena saya merindukanmu." Aksa menjawab dengan nada ramah yang berkebalikan dari nada ketus yang dilontarkan Rere sebelumnya.
Rere mendengkus sinis seolah sudah terbiasa dan amat bosan dengan apa yang dia dengar. Tanpa kata, Rere beranjak dari tidurnya dan melangkah menuju kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian saat Rere keluar dari kamar mandi, dia menemukan Aksa kembali terlelap di atas ranjang. Tidak berniat untuk mengganggu, Rere memilih keluar kamar menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
RomanceApatis dan tidak memiliki hati, itulah deskripsi yang sesuai untuk menggambarkan seorang Rere. Pelakor dan wanita simpanan adalah sebutan yang sudah melekat erat padanya. Sudah menjadi rahasia umum jika dia adalah seorang wanita simpanan dari Aksa...