Seumur hidup, Aksa tidak pernah merasa sangat beruntung secara tidak sengaja meninggalkan dompet dan ponsel di apartemen. Jika kedua barang penting itu tidak tertinggal, dia tidak akan kembali ke apartemen dan menemukan dengan cepat kekacauan yang dialami Rere. Aksa bahkan tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi jika dia terlambat sedikit saja.
Saat membuka pintu apartemen, yang pertama Aksa lihat adalah ruang tamu yang kacau balau seakan habis diterjang badai. Letak sofa yang tak beraturan, barang pecah belah yang tak lagi berbentuk, dan juga Rere yang termenung di tengah ruangan.
Mengabaikan pecahan kaca yang bisa melukai kakinya sendiri, Aksa berlari menghampiri Rere. Butuh perjuangan untuk mencapai Rere yang langsung histeris saat melihatnya. Wanita itu menjerit, melontarkan berbagai cacian dan makian. Akan tetapi, diantara seluruh caci maki yang dilontarkan, Aksa mendengar sekelebat nama yang disebutkan.
"Apa yang Darren lakukan padamu?" Dicengkeramnya bahu Rere dengan keras agar wanita itu berhenti memberontak, Aksa kembali bertanya, "bajingan itu melakukan apa, Re!"
Rere yang sesaat linglung akhirnya kembali mendapatkan kesadarannya. Ditatapnya Aksa dengan pandangan kabur oleh air mata. "Dia memiliki semuanya."
"Apa yang dia miliki?" desak Aksa tidak sabar. Akan tetapi Rere tidak langsung menjawab, membuat Aksa kehilangan kesabaran.
"Apa yang dia miliki hingga membuatmu seperti ini!" Aksa nyaris menjerit.
"Fotoku─" Teringat akan keberadaan amplop berisi foto yang dikirimkan Darren, Rere langsung mendorong tubuh Aksa hingga pria itu nyaris terjengkang.
Mengusap air mata dengan kasar, Rere mengedarkan pandangan ke segala arah untuk mencari amplop cokelat. Saat menemukannya berada tidak jauh dari lampu hias yang telah hancur, tanpa menyadari jika bertelanjang kaki dia hampir saja melukai kakinya sendiri jika Aksa tidak mencegah.
"Lepas Aksa!" Rere berusaha menepis tangan Aksa, tetapi cengkeraman pria itu begitu kuat di lengannya.
Menyadari arah pandangan Rere tertuju pada sebuah amplop cokelat tidak jauh darinya, Aksa menawarkan diri untuk mengambilnya. "Biar saya saja."
"Jangan!" Buru-buru Rere mencegahnya. Dia memasang badan agar menutupi keberadaan amplop itu meski percuma karena Aksa sudah melihatnya.
Aksa semakin curiga. Jika saja kondisi lantai tidak dipenuhi dengan pecahan kaca, Aksa tidak akan memedulikan larangan Rere dan langsung mengambilnya. Sayangnya dia tidak bisa melakukan itu karena tahu Rere akan nekat menerjang pecahan kaca demi mencegahnya.
"Biar saya─"
"Jangan!" Rere menjerit, ketakutan terpancar jelas dari raut wajahnya. "Tidak, jangan pernah menyentuhnya."
"Sikapmu ini hanya membuat saya curiga."
Menghapus kasar air mata yang lagi-lagi muncul, Rere menatap Aksa penuh tekad. "Keberadaanku di sisimu tergantung pada amplop itu," ucap Rere sarat akan ancaman.
Aksa mengangkat satu alisnya, tertarik dengan ucapan Rere. "Jika saya tidak menyentuhnya apa kamu akan menjadi milik saya seutuhnya?"
Rere mengerjap. "Bagaimana bisa?" tanyanya dalam hati pada diri sendiri. Apa yang dilakukannya dengan Aksa selama ini memang perbuatan yang salah. Tetapi apa yang pernah dialaminya dulu tidak sepadan dengan permintaan pria itu. Tiap kali mengingatnya, Rere bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri.
"Re," panggil Aksa setelah tidak ada jawaban dari Rere. Saat Rere sudah membuka mulut untuk menjawab, Aksa lebih dulu menyanggahnya. "Tidak usah mengatakan apa pun, saya sudah tahu jawabanmu." Rere masih tidak menjawab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
RomanceApatis dan tidak memiliki hati, itulah deskripsi yang sesuai untuk menggambarkan seorang Rere. Pelakor dan wanita simpanan adalah sebutan yang sudah melekat erat padanya. Sudah menjadi rahasia umum jika dia adalah seorang wanita simpanan dari Aksa...