2

30 13 1
                                    

Revan terbangun karena sinar matahari yang nakal masuk melewati sela-sela gorden jendela kamarnya meskipun masih malu-malu tapi itu cukup untuk membuatnya menggeliat panjang dan berusaha mengumpulkan nyawanya yang sebagian masih dialam mimpi.

Revan memikirkan apa yang ia dapati dalam mimpinya, tapi sepertinya tidak ada. Syukurlah dari pada harus bermimpi indah tapi dalam dunia nyata tidak terjadi, sekalian saja tidak usah banyak bermimpi.

Setelah asyik dengan acaranya tentang mimpi, akhirnya Revan sadar sesadar-sadarnya dan berjalan santai menuju kamar mandi, menyegarkan semuanya berharap pikirannya mengalir seperti air bekasnya mandi.

Lima belas menit untuk menyegarkan segalanya, sebagai mahasiswa penampilan memang patut ditunjukan, Revan memilih menggunakan kaos biru tua dengan tulisan Latin tidak jelas, dipadukan dengan celana jeans hitam, dan sepatu vans, tak lupa tas punggung yang membawa buku pelajarannya hari ini.

Ia bercermin sekali lagi didepan cermin besar yang muat untuk memperlihatkan tubuhnya, setelah dirasa sempurna ia turun melanjutkan aktivitas selanjutnya. Sarapan.

Dari kejauhan ia melihat anggota keluarganya ada mamah Caella, papah Andre, dan adik kecilnya Ersya. Tapi ada satu yang kurang.

Ersya bukan balita apalagi bayi, sekarang umurnya sudah menginjak angka 16 tahun itu tandanya kelas 2 SMA sedang dihuninya sekarang.

Tapi tetap saja, mau berapapun umurnya Revan tetap menganggapnya bayi, apalagi jika sifat manja tapi keras kepalanya keluar, rasanya Revan ingin sekali memusnahkannya, jika ia tidak mengingat bahwa Ersya pernah singgah dirahim yang sama setelahnya.

Tapi kemana adik satunya lagi?. Batin Revan.

"Kemana Alexa?." Tanyanya sambil duduk tak lupa dengan aksinya yang haram untuk dilewatkan. Mencubit gemas pipi Ersya.

"Kebiasaan lo kak!." Hardiknya.

"Udah tau kebiasaan, makanya jangan marah." Revan hanya terkekeh geli dengan pertunjukan wajah Ersya yang menggemaskan beserta ucapannya. Menyenangkan.

"Biasa, Alexa lagi persiapin acara amalnya." Mamah bersuara.

"Sepagi ini?." Tanya Revan lagi yang hanya dijawab deheman oleh sang mamah.

"Kepo banget sama urusan orang!." Itu Ersya. Sangat menjengkelkan memang, dengan mulut tipis tapi berbisa itu bisa saja mendatangkan seseorang untuk mengurut dadanya sabar.

Revan tidak menjawab dan hanya fokus pada roti bakar dengan selai kacang dihadapannya, itu lebih menarik, membiarkan Ersya yang juga sedang asyik dengan roti coklatnya.

"Mamam, nanti Ersya sama kak Pia ke butik ya. Biasa." Katanya sambil melirik tajam kearahnya, jika sudah begini Revan sudah khatam apa yang akan Ersya jabarkan.

"Mulai.." Ucapku malas. Sebenarnya dibalas atau tidak pastinya hanya akan berujung perdebatan. Ersya memang ingin ditimpuk tanpa diminta sepertinya.

"Ya mulailah, sampai kak Revan sadar kalo sebenarnya kak Pia itu yang terbaik. Sukur-sukur ada yang suka kakak, kaya kak Pia lagi, gak bisa bayangin sakit hatinya kaya gimana." Cerocosnya. Entah terbuat dari apa mulutnya itu. Pedas.

"Gak usah pusing-pusing ngurusin masalah kakak, tentang jodoh lagi. Belajar aja yang bener!." Ujar Revan akhirnya.

"Sok bijak lo kak! Gue itu udah pinter dari masih jadi spermanya papah yang waktu itu balapan sama yang lain, dan sebagai adik yang baik dan tidak sombong, Ersya akan melindungi kakak dari kunti yang terkutuk." Katanya bangga.

Dari sekian banyak sifat, sifat inilah yang paling Revan benci, walaupun apa yang melekat pada Ersya hampir semuanya ia tidak suka, tapi pikiran kotornya itu yang membuat Revan risih.

Sedangkan papah tertawa keras, bangga dengan hasil cetakannya dan mamah hanya memutar bola matanya jengah dengan sifat Ersya yang menurun dari Andre.

"Jorok banget sih!." Sentak Revan kesal. " Kamu kali setannya setiap hari gangguin kakak, udah kaya kunti penasaran aja siapa masa depan gue."

Jika Revan sudah berkata "gue" kepada adiknya itu artinya dia sudah kesal, tapi hanya bisa ia lampiaskan dengan kata-katanya. Menahan rasa kesalnya agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berkelanjutan.

"Terus kak Revan masih sok berjuang demi lintah darat? Kakak gak capek sama kepastian yang gak pasti, udah ada yang jelas didepan mata lho kak!?."

"Sindirannya terlalu jelas."

"Gak niat nyindir tuh. Biar kak Revan segera sadar dari jalan yang menyimpang aja."

"Sok tau kamu!." Sentak Revan yang entah kenapa jika berdebat dengan Ersya ingin sekali menyahuti, walaupun hati kesal setengah mati.

Ersya memang mengetahui seseorang yang Revan taksir, saat itu Revan dengan segala rasa yang hinggap di hatinya menceritakan kisah cinta pilunya kepada sang mamah, dan dengan kurang ajar Ersya mengintip dan menguping pembicaraannya, walaupun katanya ia tidak sengaja mendengarnya. Tapi tetap saja membuatnya malu dan jengkel.

"Kenyataannya gitu kan? Semua keluarga juga tau, jadi gak usah ngelak. Ribet banget emang cinta itu, gue aja pusing sama definisinya apalagi kalo ngrasain?." Ujarnya slow.
Kenapa lagi dia?. Batin Revan bertanya dengan sifat ganda adiknya.

Hasilnya seperti sekarang, Ersya tertawa kecewa dengan apa yang Revan rasakan, karena ia lebih memilih sahabat Revan daripada wanita yang Revan suka, karena tidak memberi kepastian yang jelas. Sudah pasti Ersya kecewa dengan Revan, dan selalu berkata remaja bucin yang baru mengenal cinta dan sok berjuang demi lintah darat.
Dikiranya rentenir apa?

"Gak usah ikut campur!." Sentak Revan, untungnya masih bisa mengontrol emosinya dan tidak sampai membentak Ersya.

"Ersya! Revan! Kalian ini tidak pernah sekali saja tidak bertengkar, sepertinya ada saja topik untuk saling menjelekkan. Kayanya kedua telinga kalian itu tidak ada yang membisikan kebaikan karena diisi setan semua." Caella berkata geram.
Ia sering marah kepada anaknya, cara lembut sering ia lakukan karena tidak bisa ia pun meloloskan amarahnya lewat ucapan. Sudah muak dengan kelakuan kekanak-kanakan keduanya.

"Maaf mah." Hanya Revan yang berkata begitu.

"Kak Revan nya tuh yang susah dikasih tau. Dibilang sama kak Pia aja susah amat, kayanya hatinya gak normal, cinta kan tumbuh karena terbiasa, dalam kurung katanya sih, tapi buktinya kak Revan malah suka sama yang lain. Aneh banget." Kata Ersya panjang lebar.

"Kamu ini Ersya, seneng banget gangguin kakak kamu. Minta maaf!." Kini Andre yang bersuara menengahi keduanya.

"Ih tau ah sebel. Ersya mau berangkat aja." Begitulah akhirnya. Ersya yang memulai, Ersya yang kesal, Ersya sendiri juga yang mengakhiri.

"JALANYA BIASA AJA!." Teriak Revan lantang dengan cara berjalan Ersya yang hentak-hentakan sebagai pelampiasan akan kekesalannya.

"BODO AMAT!." Teriaknya tak kalah kencang. Tak berapa lama suara deru mobil menginstruksikan jika Ersya sudah berangkat ke sekolah.

"Gak usah diambil hati, tapi coba didenger aja, perkataannya juga gak salah sepenuhnya. Kamu itu kaya mamah, payah kalo soal cinta." Kata Caella lembut.

Revan hanya mengangguk dan tersenyum kecut sebagai bentuk jawabannya. Lelah. Paginya lagi-lagi hancur dengan Protestan Ersya tentang kisah cintanya. Menjengkelkan.

Hanya ada perdebatan dan satu-satunya cara adalah memilih bersama sahabatnya, agar Ersya berhenti mengusik hidupnya walaupun Revan rasa itu tak mungkin.

***

Sorry gan.. GJ
Love you all.

You Are My Love (End✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang