1

49 15 0
                                    

Flashback on

Revan baru saja selesai dalam acara kelulusan SMA nya yang diadakan disekolah sendiri. Dengan kemeja putih yang dibalut dengan jas hitam, celana bahan dengan warna yang sama, serta dasi yang memperlengkap penampilannya. Tampan. Itu kata yang tepat untuk Revan bahkan disetiap harinya.

Ia sedang asik memandang cinta pertamanya yang sedang berfoto dan tersenyum bahagia bersama kedua orang tuanya, tidak disadari oleh Revan pula ia ikut menyunggingkan senyumnya melihat betapa cantiknya wanita yang ia lihat.

Cinta pandangan pertama disusul ia termasuk cinta pertamanya. Cinta pertama? Yap, disaat umurnya hampir mendekati dewasa ia baru merasakan namanya cinta dan berjuang untuk rasa satu itu. Namun sayang beribu sayang, perasaanya hanya dapat dirasakan olehnya sendiri tanpa terbalas, tanpa mau sedikit pun sang lawannya mencoba membuka hati untuk Revan.

Lintang Anjani. Gadis cantik yang menjadi incaran Revan, bahkan bukan hanya dirinya yang menginginkannya mengingat Lintang termasuk dalam jajaran wanita berkelas seantero sekolah. Siapa yang tidak mengenal Lintang? Kaya, cantik, dan pintar. Paket komplit untuk menantu idaman.

Lintang juga termasuk saingannya dalam hal prestasi selain dirinya juga sahabatnya. Menjadi pejuang cinta bukan hal yang mudah bagi Revan mengingat ia yang belum pernah merasakan cinta.

"Revan ikut gue yuk!."
Itu suara sahabatnya yang seketika membalikan Revan kedunia nyata. Jika ada yang berfikir sahabatnya laki-laki maka pikiran itu silang besar.

Stevanny Silvia Wira atau biasa disapa Silvia, sahabatnya yang ceria, cantik, dan tidak perlu diragukan lagi jika sudah menyangkut otaknya.
UN saja Silvia berhasil merebut peringkat dua dibawah Revan dan disusul Lintang sebagai peringkat ketiga, dan Revan sebagai peringkat pertama yang selalu bertahan semenjak try out dilaksanakan.

Ia memandang sahabatnya yang saat ini memakai kebaya warna hijau tua, dan sahabat yang akan kuliah di universitas dan jurusan yang sama dengannya itu  kagum. Silvia tak kalah cantik dengan Lintang, tapi ia juga tidak tau kenapa hatinya bisa mencintai wanita hanya dengan satu kali tatap.

"Kemana?." Tanya Revan setelah membereskan acara melamunanya.

"Ke taman belakang sekolah." Tanpa menunggu lontaran pertanyaan Revan selanjutnya, gadis itu sudah menariknya untuk menuju tempat tujuannya, dan sekarang disinilah mereka berada, sedang duduk di kursi taman yang sekarang hanya ada mereka berdua penghuninya.

Silvia gugup. Keadaan canggung. Revan juga bingung harus berbuat apa dan apa yang harus ia katakan.

"Guesukasamalo." Ucap Silvia cepat dalam satu tarikan nafas tanpa jeda, membuat Revan aneh sendiri saat mendengarnya.

"Lo ngomong apa sih? Gak jelas banget!." Bohong jika Revan tidak mendengarnya. Ia hanya ingin lebih memastikan jika gendang telinganya masih sangat mampu untuk menangkap suara yang membuatnya jadi tidak karuan.

"Gue suka sama Lo." Jelas. Itu yang Revan rasakan saat ini. Saking ceria dan terbukanya sahabatnya ini sampai mampu mengatakan perkataan ajaib itu tanpa ragu untuk ukuran wanita sepertinya.

"Lo kan tau gue su.."

"Iya." Potong Silvia sebelum Revan melengkapi perkataanya.
"Lo gak perlu mempermasalahkan perasaan gue, cukup gue aja yang memiliki perasaan ini. Gue gak akan maksa Lo buat bisa sama gue, karena gue tau Lo suka sama Lintang. Tapi gue lega bisa ngungkapin apa yang gue rasain, meski gue tau hanya berujung sakit, tapi gue tenang daripada harus menyimpannya sendiri terus apalagi dalam waktu yang lama. Lo gak perlu khawatir, kejar impian Lo buat dapetin Lintang. Gue selalu dukung Lo dan selamanya akan jadi sahabat Lo." Jelas Silvia panjang lebar.

"Gue juga mohon sama Lo, jangan minta gue buat berhenti suka sama Lo karena gue gak akan pernah bisa, Lo cukup jadi sahabat terbaik gue aja itu udah lebih dari cukup." Jelasnya lagi.

Keduanya hanya saling tatap, menentukan kata apa yang pantas diucapkan selanjutnya. Saling memberi tatapan dan menyalurkan apa yang sedang mereka rasakan sekarang.

Revan sudah bisa mengira ini jauh-jauh hari, cepat atau lambat ini pasti akan terjadi dalam hubungan persahabatan yang dijalin antara laki-laki dan perempuan. Tapi Revan tidak menyangka Silvia masih mau berteman dengannya dan mengerti perasaannya. Bukan malah memaksanya untuk membalas cintanya. Revan bersyukur dipertemukan dengan gadis yang sabar seperti Silvia.

Revan sedang berusaha mengumpulkan kekuatannya dan..

Grep

Ia segera memeluk sahabatnya erat, menyalurkan rasa sayang sebagai sahabat kepada Silvia agar bisa berbagi walaupun hanya sedikit dari beban dihatinya.

"Maaf." Gumam Revan lemah.

Barulah Silvia membalas pelukan Revan dengan erat, rasa ingin memiliki pasti ada ketika seseorang mencintai, dan itu dirasakan Silvia saat ini. Ia tidak mau waktu berjalan saat sedang seperti ini, biarlah cintanya tidak terbalas asalkan ia bisa bersama Revan.

"Lo gak salah. Gue yang terlalu berharap sama Lo."

Cinta tumbuh karena terbiasa. Sepertinya kata itu tidak cukup tepat bagi mereka. Silvia yang merasakannya sendiri sedangkan Revan hanya menganggapnya berteman biasa dan justru mencintai Lintang dalam satu pandangan mata. Aneh.

Mereka melepas pelukannya dan Silvia menatap Revan sendu kemudian tersenyum.

"Gue akan selalu nunggu Lo. Gue bahkan gak keberatan buat jadi pelampiasan saat tiba-tiba Lo gak bersama sama Lintang. Tapi gue selalu berdoa yang terbaik buat sahabat gue ini. Meskipun terbaik itu gak terindah buat gue."

"Maaf." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Revan. Ia tidak tau harus berbuat apa untuk sahabat yang sejak kelas 1 SD selalu menemaninya itu.

"Ya udah dari pada melow-melow gak jelas gini mending kita balik, takut mamah nyariin gara-gara kelamaan." Ajak Silvia dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Revan yang masih tak bergeming ditempatnya. Rasanya bernafas saja susah apalagi untuk berjalan, kaki terasa berat untuk menopang tubuhnya.

"Revan ayo!." Panggil Silvia karena merasa Revan tidak berjalan dibelakangnya.

Revan hanya mengangguk dan berjalan dibelakang Silvia dengan matanya yang fokus pada punggung sahabatnya itu. Rasa bersalah tiba-tiba hinggap dihatinya. Ia tidak ingin seperti ini, tapi apa boleh buat? Revan juga tidak bisa mencegah Silvia saat hatinya sudah mantap dalam memilih dan hati Silvia memutuskan untuk memilih Revan.

Flashback off

Revan tak bisa menghentikan lamunannya sampai detik ini. Rutinitasnya sebelum tidur adalah membayangkan kejadian empat tahun lalu. Revan rasa peristiwa itu baru saja terjadi kemarin. Terlalu jelas.

Belum lagi hatinya yang sudah tujuh tahun bertahan tanpa kepastian. Menyesakkan sekali hidupnya yang hanya diisi tentang cinta.

Revan masih berharap adanya titik cerah dalam hidupnya untuk menggantikan penantian panjangnya. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, bahkan terlampau lama bagi seorang yang memiliki kesabaran rendah. Hanya harapan yang menguatkan Revan sampai detik ini. Entah sampai kapan. Ia pun tak tau.

Setelah puas dengan lamunan dan pikirannya mengenai masa lalu yang tidak bisa dibilang menyenangkan, akhirnya Revan mencoba untuk menutup matanya dan meraup serta merangkai mimpinya seindah mungkin karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas dengan tepat.

Masih dengan sisa harapannya semoga ia mendapatkan apa yang ia nantikan selama ini.
Sebab ia sudah terlalu lelah memikirkan semua yang ada pada hidupnya.

Akhirnya dengan sedikit paksaan Revan telah tenggelam dalam mimpinya. Berusaha menyusun kerangka mimpi yang masih berceceran.

Selamat tinggal dunia nyata...

***
Love you all



You Are My Love (End✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang