22

11 6 0
                                    

Revan melajukan mobilnya menuju rumah Silvia, malam ini adalah malam acara reuni SMA nya dan seperti perkataannya minggu lalu bahwa ia akan mengajak Silvia bersamanya.

Perkataan Caella masih terngiang jelas dikedua telinganya seakan menggema hingga menjadikannya sukses memikirkannya.

Flashback on..

Caella menghela nafas mendengar curhatan Revan kemudian tersenyum tipis memberikan pengertian memalui sikap keibuannya.

"Anak mamah emang labil." Ujar Caella sambil mengelus lembut puncak kepala Revan. Kini Revan merasa bukan anak kuliahan melainkan anak SMP yang ketauan berkelahi dan butuh pembelaan. "Siapa?." Tanya Caella selanjutnya.

Revan menautkan kedua alisnya. "Siapa, apa?." Tanyanya bingung.

"Kamu lagi jatuh cinta sama siapa?." Ujar Caella menuduh.

Revan tentu saja melotot. "Emang kalo.. kaya gitu cinta namanya?." Tanyanya ragu.

Caella mengangguk. "Gejalanya sama kaya mamah waktu jatuh cinta sama papah." Ujarnya.

Revan memalingkan wajahnya kearah lain, pikirannya tertuju pada perasaan yang hinggap dihatinya untuk sahabatnya. Yah.. dia hanya bisa merasakan itu pada sahabatnya sendiri.

"Ada yang baru lagi apa?." Tanya Caella lagi.

Revan menggeleng. "Revan ke kamar dulu ya, mah." Pamit Revan tanpa menunggu jawaban Caella ia segera melangkahkan kakinya, menjawab semua pertanyaan dalam hatinya dengan merenung.

Flashback off.

Revan mengeluarkan karbondioksida dari hidungnya dengan kasar. Apa benar perasaanya itu cinta? Apa benar ia mencintai Silvia?.

Saat sedang berfikir keras mengenai hati, hingga tak terasa kini mobilnya sudah berhenti tepat didepan gerbang rumah Silvia. Revan tidak langsung turun, melainkan menurunkan jendela mobilnya lalu menatap gerbang rumah tersebut dalam diam, berpikir bagaimana ia akan bersikap setelah mengetahui jawaban dari hatinya.

Berkali-kali ia mengucapkan syukur, sebab Tuhan masih menyelamatkannya saat berkendara namun otaknya berkelana, bukan tidak mungkin besoknya ia akan tertabrak atau menabrakkan diri sebab frustasi bukan?. Membayangkannya saja Revan sudah bergidik ngeri.

"Lo udah dateng Rev? Nunggu lama gak? Kenapa gak masuk dulu?." Suara Silvia sontak saja mampu membangkitkan Revan dari alam bawah sadarnya.

Revan tersenyum dan menggeleng lemah. "Baru aja mau manggil."

"Sukur deh."

"Masuk gih!." Perintah Revan dan Silvia hanya mengangguk lalu masuk.

Mungkin sudah menjadi adat baru bagi keduanya, berdiam tanpa tau harus melakukan apa dan berbicara macam apa agar situasi tidak begitu ekstrim.

Revan dengan segala emosinya sehingga hanya terdiam dan Silvia yang sibuk dengan keadaan luar jendela, mencari sesuatu meskipun tidak menarik sama sekali dipenglihatanya.

"Lo kenapa Rev? Kaya banyak banget pikiran gitu?." Tanya Silvia. Ingat? Silvia itu ceria sekaligus cerewet, cebret. Tidak suka yang namanya keterdiaman.

"Gak papa." Berhasil. Revan berhasil menutupi kebohongannya. Dengan kata 'gak papa', padahal dihati juga otaknya berbanding sangat terbalik.

"Ngomong aja kalo ada masalah!." Ujar Silvia masih tidak mau menyerah untuk menuntaskan apa yang Revan pikirkan.

'Sumber masalahnya itu Lo. Gue kata mamah cinta sama Lo, gimana gue bisa ngomong?.' Ujar Revan dalam hati, bernostalgia dengan hatinya sendiri.

You Are My Love (End✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang