6

16 9 0
                                    

Revan memutar otaknya hingga sampai dimasa lalu, kejadian indah terekam dengan baik diingatkannya, tak akan pernah Revan lupakan.

Ingin rasanya ia balik ke masa dimana kebebasan melanda dan keceriaan menerjang tanpa batas, dan tidak takut adanya rasa yang sedikit mengkhawatirkan. Revan harus memperbaiki semuanya. Iya harus. Ia akan mengulang apa yang telah ia pendam demi hati seseorang agar tidak terlalu berharap, tapi Revan sadar, bukan dengan menjauh, namun dengan mempertahankan persahabatan.

"Bang, si Ersya makanya apaan sih? Kayanya emang udah ditakdirkan pinter." Keluh Satria.

"Makan nasi lah." Jawab Revan seadanya.

"Tapi otak, muka bahkan badan, sampe nasibnya itu mendekati sempurna, kecuali muka dinginnya itu yang bikin ngelus dada. Ngomong-ngomong bang, kenapa juga Ersya bisa punya muka tembok begitu ya?." Ucap Satria.

"Lo cowok tapi mulutnya udah kaya tol Cipali aja ya? Di rem bentar." Sentak Silvia.

"Salah lagi." Ujar Satria. "Cuma curhat kok, mumpung kakak nya ada disini." Katanya sambil menunjukan cengiran kudanya.

Revan bersyukur, adanya Satria bisa mengalihkan sedikit rasa canggung diantara keduanya.

"Muka tembok?." Tanya Revan heran.

"Iya. Muka datar, jarang ngomong pula."

"Muka datar apaan? Gue juga pinginnya iris tuh muka gara-gara nyari perkara mulu sama gue, terus apa tadi jarang ngomong? Kalo dirumah aja udah kaya balita puber." Jawab Revan, lalu Silvia yang terbahak, dan Satria yang bingung dengan ucapannya.

"Mana ada balita puber?." Tanya Silvia masih dengan sisa tawanya.

"Ya semacam Ersya gitu lah, kelakuan kaya bayi tapi gak inget umur." Jawab Revan yang kemudian ikut tersenyum, dengan ucapannya sendiri. Sepertinya bukan, tapi ia tersenyum sebab Silvia yang tertawa lepas, sudah lama Revan tidak melihatnya. Dan lagi-lagi, masih sama.

Ketukan pintu terdengar lagi dengan bi Atik yang membawa nampan berisi nasi lengkap dengan lauknya dan air putih dalam gelas, kemudian diikuti penampakan Kevin, Bima dan Martha.

"Non, ini temen-temennya mau jenguk. Ini den makannya, maaf lama tadi ayamnya sempet ada yang gosong, jadi harus goreng yang baru lagi." Ujar bi Atik meletakan nampan tersebut diatas meja nakas.

"Maaf dan terima kasih ya bi."

"Iya den. Ini mau pada minum apa? Apa mau makan juga?." Tanya bi Atik beralih kepada ketiganya.

"Gak usah repot-repot bi, kita udah makan, tapi jus mangga aja boleh deh, ada?." Tanya Kevin yang tak lama dihadiahi tatapan horor juga cubitan di pinggangnya dari Martha. "Duh sakit yang."

"Gak usah malu-maluin." Ucap Martha geram.

"Gak ngerepotin kok. Yang dua?." Tanya bi Atik lagi.

"Sama aja deh bi semuanya. Maaf ya bi ngerepotin." Jawab Bima.

"Justru bibi malah seneng direpotin. Ya sudah tunggu sebentar ya!." Ujar bi Atik kemudian berlalu ke dapur untuk yang kesekian kalinya.

"Rev, Lo kesini juga sengaja mau numpang makan kan? Ngaku Lo?." Sentak Kevin yang melihat Revan tengah menikmati makan siangnya dimeja belajar milik Silvia.

"Enaknya aja Lo. Rejeki gak baik ditolak, siapa tau besok udah gak ada?." Jawab Revan yang masih setia dengan makanannya.

"Anak orang kaya juga, masih aja numpang makan." Sindir Kevin.

"Berisik Lo. Kalo mau tinggal ngomong." Sentak Revan tak kalah sadis kini kepalanya menoleh kepada sang pembuat dongkol.

"Udah. Lo makan aja Van, gak usah dengerin Kevin." Bela Martha.

You Are My Love (End✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang