3

29 11 0
                                    

Ingin sekali mengutuk Ersya, tapi sayangnya ia terlalu cantik untuk mendapatkan kutukan, walaupun dengan hanya tidur seratus tahun dan tidak sampai menghilangkan nyawanya, tetap saja sebagai kakak yang penyayang dan tampan, ia tidak sampai hati melakukan itu.
Lagi pula dia juga tidak akan bisa.

Pikirannya di penuhi lagi oleh hal yang membuat hidupnya menderita. Cinta. Tak habis pikir, bagaimana cara menghentikannya?.

Dengan pikirannya yang belum sepenuhnya fokus, tanpa sadar Revan membelokkan mobilnya dan Revan tau betul kemana arah jalannya sekarang. Rumah Silvia. Sahabatnya, yang Ersya harap untuk menjadi kakak iparnya.

Ada apa dengannya?

Benar saja, tanpa pikir panjang ia mengarahkan mobilnya menuju rumah Silvia, mengingat sudah lama ia tidak pernah berangkat bersama saat sudah memasuki masa kuliah, padahal arahnya yang dituju satu jalan, hanya sedikit perlu belokan untuk sampai ke kediamannya.

Setelah pengakuan itu juga pastinya, ternyata kejujuran Silvia mengantarkan pada kerenggangan, bukan dari keduanya melainkan di dominan dari Revan yang tidak ingin terlalu memberi harapan jika berada di sekitar Silvia.

Ingat betul celotehan Ersya yang selalu mengarah pada Silvia, kak Pia-nya itu memang sangat baik, bahkan terlampau baik, sampai Revan rasanya mau mati karena tidak bisa membalas cintanya. Revan juga merasa bahwa Silvia tidak cocok dengannya.

Setelah lagi-lagi berkutik dengan lamunannya, tak terasa Revan sudah menghentikan mobilnya tepat didepan rumah Silvia. Agak canggung memang, setelah lama tidak dekat padahal mereka juga satu jurusan, terasa ada sesuatu yang membentang lebar juga menjulang tinggi antara keduanya.

Revan turun dari mobil, memencet bel, dan mengucapkan salam. Setelahnya munculah seorang wanita paruh baya yang Revan ketahui adalah asisten rumah tangga Silvia. Dengan wajah kaget bercampur senang, itu yang bisa Revan tangkap dari mimik wajah perempuan tersebut.

"Den Revan?." Tanyanya antusias. Mungkin masih tak percaya dengan apa yang dilihat.

"Iya bi." Revan pun mengulas senyum terbaiknya, mengingat dulu bi Atik sudah dianggap sebagai ibu-nya.

"Duh udah lama gak ketemu, gimana sehat?." Tanyanya lagi tanpa menghilangkan senyumannya.

"Sehat bi." Jawab Revan seadanya.

"Ayo masuk dulu yang lain juga masih pada sarapan." Ajak bi Atik sambil mengayunkan tangannya juga memberi akses untuk Revan masuk.

"Gak usah bi, Revan udah sarapan. Silvia nya ada? Mau jemput dia soalnya."

"Waduh.. Non Silvia nya sakit den, baru tadi pagi, badannya panas sama muntah-muntah terus." Jelas bi Atik tuntas.

"Kok bisa bi?." Tanya Revan penasaran, pasalnya sahabatnya satu itu jarang sekali sakit, bisa dihitung berapa kali Silvia sakit saat SMA dulu.

"Namanya juga manusia den, banyak pikiran kali." Jawab bi Atik dengan senyumnya.
Benar juga.

Rasa bersalah entah sejak kapan menguasai hatinya sekarang, karena saking renggangnya hubungan mereka karena sebuah pengakuan, pada akhirnya Revan tidak tahu-menahu tentang kondisi sahabatnya itu, walaupun baru ia dapati juga hari ini.

Bi Atik yang sudah tau dengan keranggangan antara keduanya mengerti dan tidak menanyakan lebih jauh kenapa Revan tidak tau tentang Silvia yang sakit. Tentunya bi Atik tidak mau terlalu penasaran juga akan masalah keduanya, akhirnya memilih diam.

"Ya udah bi, Revan pamit dulu, salam buat Silvia nanti pulang kampus Revan mau jenguk." Kata Revan.

"Iya den, hati-hati dijalan." Revan hanya mengangguk dan segera berlalu masuk kedalam mobil dan menaikan kecepatan laju mobilnya sebelum terlambat, sebab lima belas menit lagi kelasnya akan dimulai.

Revan seorang pria rajin, dengan tampangnya yang tidak perlu diragukan, salah satu pewaris atau penerus perusahaan Bagaskara, mengingat dia adalah satu-satunya anak lelaki yang dipunyai Caella dan Andre, itu mengapa membuatnya merasa mempunyai tanggung jawab yang besar akan perusaahan. Dengan otaknya yang sempurna itu, ia dapat dengan mudah mempelajari seluk beluk tentang manajemen.

Kelas sudah dimulai, Revan bingung dengan dirinya sendiri, hatinya tidak tenang dan terus memikirkan keadaan Silvia, jiwa persahabatannya dengan Silvia seperti akan menghilang dari hidupnya, jika saja Revan tidak tau jika Silvia sakit.

"Via.. gue kangen kita yang dulu." Tanpa sadar gumaman kecil nan lirih meluncur dari mulutnya.

'Via' panggilan sesukaanya, tidak seperti kebanyakan orang yang memanggilnya 'Sil', Revan lebih suka dengan sebutan 'Vi'.

Revan merindukan masa-masa bersama Silvia tanpa ada batasan, bebas berekspresi, dan berbuat sesuka hati mereka tanpa takut adanya kata 'baper'.

Semua kenangan manis keduanya terekam jelas di otak Revan. Dari awal Silvia dan Revan yang masih berusia tujuh tahun dan kebetulan mereka satu sekolah dasar saat itu, lalu Silvia yang tiba-tiba datang dan mengajaknya berkenalan sampai akhirnya mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan.

Revan jelas tau tidak mungkin persahabatan yang dijalin antara lawan jenis tidak ada salah satunya yang tidak memiliki rasa lebih untuk sahabatnya. Tapi Revan juga tidak mau terlalu memusingkan harinya ke depan waktu itu.

Saat itu ia masih terlalu menikmati persahabatannya dengan Silvia dan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya, sampai akhirnya sama itu tiba, tapi Revan tidak menyangka jika dampaknya akan sebesar ini sampai mempengaruhi ikatan persahabatannya.

Revan tidak membenci perasaan Silvia, tapi ia benci pada dirinya yang tidak dapat membalas apa yang Silvia rasakan. Jika ada yang bertanya apakah Revan ingin memiliki rasa yang lebih untuk Silvia, maka jawabanya sangat.

Revan merasa menjadi orang paling bodoh sekarang, menginginkan mencintai Silvia tapi ia tidak terlalu berusaha dan memaksakan diri untuk sampai pada titik dimana ia akan sangat mencintai Silvia. Revan sangat bodoh tentang cinta dan malah memilih yang lain, yang sama-sama tidak bisa ia lepaskan.

Waktu berjalan bagai siput rasanya begitu lama untuk jam yang ada di atas papan tulis menunjukan pukul satu siang.
Kini jam istirahat sedang datang dan Revan membiarkan dirinya terjerumus dalam lamunan untuk yang kesekian kalinya.

Revan takut jika sewaktu-waktu Silvia tidak mencintainya lagi, Revan takut jika cintanya juga tidak terbalas, dan Revan juga sangat takut jika masa depannya tidak seindah apa yang ia perkirakan.

"Woy profesi baru nih ceritanya? Napa Lo bengong aja dari tadi, keliatan begonya tau kalo kaya gitu." Setelahnya ia meringis karena seorang pria disampingnya menjitak kepalanya cukup keras.

"Lagi sedih mungkin, mulut Lo itu emang gak bisa ditata ya!."

Kevin Thiano Mahesa seorang  cowok blak-blakan, dengan ketampanan yang sedikit tidak wajar -perlu digaris bawahi kata sedikit dan itu hanya menurut cewek alay- mulutnya yang terkadang asal jeplak, tapi perlu diacungi jempol akan kesetiaannya terhadap wanita. Buktinya sampai sekarang ia berhasil mempertahankan hubungannya dengan pacarnya yang sudah terjalin selama enam tahun.

Sedangkan lelaki yang menjitak Kevin, dia adalah Bima Utama Annantha pria keturunan China, tapi anehnya matanya tidak sesipit kelihatannya. Masih terlihat. Tidak kalah dari Revan dan Kevin, Bima juga termasuk jajaran pria yang digandrungi. Hanya saja hatinya bagai batu jika bertemu perempuan. Hingga saat ini statusnya jomsan alias jomblo santai.

Anehny dia hanya bisa disentuh dan akan saling mengeluarkan emosinya oleh rivalnya sendiri dan itu seorang perempuan dan setiap bertemu seperti ada bendera perang melayang lebar antara keduanya.

Revan tidak menjawab. Diam menjadi pilihannya sekarang.

***
Ngomong-ngomong udah follow belum?

Love You All.

You Are My Love (End✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang