6. mutualisme

3K 273 16
                                    

Vote komennya ayangieeee!

"Lo udah sembuh?"

"Beneran udah nggak ada yang sakit?"

"Beneran baik-baik aja?"

"Ih lo tuh kenapa sih! Baru sembuh dari sakit tapi udah gelud—"

"Kalo gak gitu tuh anak nggak bakal berhenti, Tha." Kala menjawab segala cerocosan gue sambil menatap sinis.

Yaampun, sinis banget.

"Lo juga kenapa gak teriak minta tolong? Lawan kek apa kek, ini malah diem doang. Kalo gue gak nongol disana pasti lo udah diapa-apain sama tuh anjing!" Kali ini ucapan Kala terdengar sangat marah.

Gue tidak mengerti apa yang membuat dia sampai segitunya?

Gue menghela nafas, menarik tangan gue dari wajah Kala. Menyenderkan bahu pada jok mobil cowok itu. "Kok jadi lo yang kesel? Seharusnya kan gue." Kata gue pelan.

Tenaga gue sudah habis dipakai untuk melawan Arkan tadi, dan sekarang gue malah mendengar Kala marah-marah. Bukannya gue tidak suka, hanya saja bisa tidak sih marahnya dipending dulu? Gue kan masih Tremor.

"Cowok waras lain juga bakal kesel kalo ngeliat ada pelecehan seksual di depannya, Tha." Balas Kala sambil mengacak rambutnya.

Gue masih ingat kejadian beberapa saat lalu tadi. Kala benar-benar kalap dan hampir saja membuat Arkan masuk rumah sakit kalau tidak gue hentikan.

Sekala memang tidak mendapat luka apapun, malahan Arkan yang babak belur. Gue yakin sekecil-kecilnya luka yang Arkan dapat itu pipi yang membiru serta bibir yang robek.

"Lain kali kalo ketemu tuh cowok brengsek, lo telpon gue aja. Kalo gak gitu jangan pernah pergi ke tempat sepi kalo ada dia, cari tempat yang rame biar dia nggak bisa ngapa-ngapain lo." Cerocos Kala. Seumur-umur kenal dengan sosok Sekala Bumi, baru kali ini gue melihat dia begitu emosi.

Apa Kala khawatir pada gue?

"Kal..." Kala menoleh.

Gue menatap cowok itu lekat, mempertimbangkan apakah gue harus mempertanyakan ini atau tidak. Tapi akhirnya gue pun memilih menanyakan.

"Kalo Sesha yang ada di posisi gue, lo bakal sama marahnya kaya gini gak?"

Entah keberanian dari mana, gue malah bertanya seperti itu.

Sekala mengalihkan pandangannya ke luar jendela, lalu kembali menatap gue. "Gue bakal tetep bereaksi sama. Bukan karena gue punya perasaan atau apa, tapi gue cuma gak suka ngeliat cewek jadi korban pelecehan seksual. Jangan nanya hal-hal yang nggak penting lagi kaya gini, gue tau apa tujuan lo. Tapi, Tha, sorry banget sekali lagi harus gue ingetin. Tolong jangan berharap lebih sama gue."

Memang salah gue menanyakan hal yang tidak seharusnya.

....

Setelah ucapan tadi, kita tidak lantas menjadi canggung. Karena mungkin gue yang sudah terbiasa mendengar ucapan seperti itu dari Kala, makanya tidak pernah gue masukkan dalam hati.

Cara bicaranya Kala memang kadang tidak kalah pedas dari Rendy, tapi gue rasa dia benar. Gue dan Kala hanya sebatas simbiosis mutualisme dan gue tidak akan berharap lebih akan hubungan kami yang tidak ada kejelasan ini.

"Kalo mau mandi, mandi aja di kamar gue. Ada sikat gigi baru di rak kamar mandi sama handuk bersih di lemari. Gue mandi di kamar mandi belakang."

Setelah bilang gitu, Kala meninggalkan gue sendirian di kamarnya. Gue yang terduduk di tepi ranjangnya mulai melihat sekeliling. Gue jarang kesini, kalau dihitung ini baru ke-tiga kalinya gue ke apartemen Sekala.

Kita Ini Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang