KODE DAN JEJAK 1

784 177 233
                                    

Resa baru saja sampai di rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan bergegas menuju kamar. Hari ini sangat melelahkan. Bertengkar dengan pacarnya, melakukan diskusi tidak jelas, saling menuduh dan mencurigai satu sama lain hanya karena tulisan yang dianggap teror. Namun, dalam lubuk hatinya yanh paling dalam, ia masih mencurigai Arin dan Mira. Entah kenapa ada hal yang janggal pada keduanya. Tetapi, semua rasa curiga dan ucapannya malah membuat teman-teman lainnya merasa kesal.

Resa yang hendak memejamkan kedua matanya terpaksa membukanya kembali saat ketukan pintu rumahnya diketuk seseorang. Resa terpaksa beranjak dari ranjangnya dengan rasa malas untuk melihat siapa yang datang.

"Siapa sih malem-malem ke rumah gue? Ganggu orang mau istirahat aja," keluhnya sambil berjalan menuju pintu rumah.

Saat ini Resa tengah sendirian di rumah. Orangtuanya sedang berada di luar kota untuk mengurus masalah bisnis keluarga.

Saat Resa sudah berada di depan pintu rumahnya, ia agak sedikit ragu untuk membuka pintu tersebut dan memilih untuk berdiam diri.

"Sa! Buka pintunya!" Teriak seseorang, sambil kembali menggedor pintu rumahnya.

Resa terdiam sejenak. Ia mengenali suara itu, dan akhirnya membuka pintu tanpa ragu.

"Lo ngapain ke sini?" tanyanya bingung. Ia pun bertanya-tanya, mengapa temannya yang satu ini keluar larut malam? Bukankah berbahaya keluar di saat pelaku pembunuhan Chandra belum tertangkap?

"Sa, gue boleh masuk?" Pinta orang itu, nada suaranya sedikit bergetar.

"Kenapa sih? Lo kayak dikejar begal aja," tanya Resa, dengan santai ia pun menyingkir dari pintu dan membiarkan temannya masuk ke dalam rumah, segera Resa cepat-cepat mengunci pintu tersebut agar orang jahat tak masuk ke dalam rumahnya.

"Gue takut banget, Sa." Ucapnya.

"Takut kenapa?" Resa semakin bingung.

"Gue ngerasa ada yang ngikutin gue dari belakang, gue takut itu pelaku yang bunuh Chandra, dan sekarang lagi ngincer gue." Ujar orang itu.

"Serius?" Raut wajah Resa seketika berubah menjadi panik setelah mendengar ucapan temannya yang juga mengangguk pertanda iya bersungguh-sungguh.

"Sekarang lo udah aman, pintu udah gue kunci." Resa kembali berbalik menghadap pintu untuk memastikan bahwa ia sudah benar-benar menguncinya.

"Thanks, Sa ...."

Saat Resa berjalan menghampiri temannya yang tengah berdiri di membelakanginya, ia terkejut.

"Ehh, bahaya! Ngapain lo pegang pisau lipat kayak gitu?" Tanya Resa, tubuhnya menegang tatkala melihat benda tajam itu ada di genggaman temannya.

Yang ditanya tidak menjawab, ia justru merespon dengan tersenyum, tapi kali ini bukan senyuman hangat yang selalu ia lihat, tetapi senyum jahat yang menyeramkan.

Orang itu melangkah perlahan demi perlahan mendekati Resa.

"Maksudnya ini?" Ucapnya, sambil menunjukkan pisau lipat yang dibawanya tepat di depan mata Resa.

Resa spontan melangkah mundur menghindari sesuatu yang buruk akan menimpanya. Sayangnya baru beberapa langkah ia mundur, punggungnya sudah bertabrakan dengan tembok. Dirinya tak bisa mundur lagi.

"Tunggu, jadi, lo pelakunya?!" Ucap Resa, begitu histeris setelah melihat pisau yang terlihat baru diasah tersebut dimain-mainkan dengan leluasa.

"Lo nuduh tanpa bukti, Sa. Gue bukan pelakunya." Balasnya sambil memainkan pisau lipat tersebut.

"Kira-kira enaknya pisau ini dipake buat apa, ya? Ada saran enggak?" Senyuman itu membuat Resa semakin ketakutan.

Apakah ia akan menemui ajalnya hari ini? Di mana Tuhan saat ia membutuhkannya?

"Jangan ..., please, gue mohon ...." Resa berusaha memelas di hadapan orang itu.

"Ehh? Kenapa lo mohon-mohon ke gue kayak gitu?" tanya orang itu.

"Aahhh jangan-jangan lo bisa baca pikiran gue, makanya tau apa yang bakal gue lakuin ke lo." Sambungnya dengan senyuman yang menyeramkan.

"G-gue enggak bermaksud begitu." Resa menggeleng dengan raut ketakutan.

"Sa, lo lucu deh, saking lucunya pengen gue bunuh." Orang itu malah semakin menunjukkan senyumnya yang lebih menyeramkan.

"J-jangan, gue mohon. Ampunin gue ...." Resa masih terus berusaha memelas di depan orang itu.

"Tangan gue udah gatel nih, by the way kok lu belum tidur sih?"

"G-gue akan tidur, tapi please jauhin pisau itu dari gue." Resa kembali memelas, bahkan ia rela berlutut di hadapan temannya itu agar diampuni.

"Mau gue bantuin biar bisa tidur cepet, enggak? Anak kecil harus itu tidur, udah malem ...." bisik orang itu ikut berlutut menatap Resa dengan menyeringai.

"Lo mau ngapain?!" Suara Resa semakin bergetar. Terlihat bahwa ia sangat ketakutan, tetapi berusaha untuk bersikap tenang.

Orang itu menancapkan pisau lipatnya dengan gerakan cepat tepat di perut Resa, membuatnya begitu kesakitan. Tetapi, hal itu malah membuatnya tersenyum menyeringai. Ia menekan pisau agar masuk semakin dalam, menariknya, kemudian menancapkan nya kembali. Darah bercipratan kemana-mana, bahkan mengenai baju dan wajahnya.

Resa terkapar di lantai dengan kondisi yang begitu lemah, matanya yang masih terbuka menatap temannya tak percaya. Namun, sang teman hanya menampilkan wajah datar sambil berjongkok di sebelahnya.

"Sakit, ya? Rasa sakit ini enggak seberapa dibanding rasa sakit yang gue rasain, Sa."

Orang itu memandang luka pada perut Resa sambil berbicara dengan nada meledek. Cewek itu ingin menjawab tetapi kondisinya saat ini tak memungkinkannya untuk dapat berbicara, bergerak sedikit saja sudah membuatnya kesakitan apalagi berbicara.

"Karena gue baik hati, gue kabulin permintaan lo, yaitu buat lo tidur lebih cepet. Abis ini jangan bangun lagi, ya?" Orang itu tertawa melihat Resa berada di ambang kematian.

Orang itu memandang ke arah jam dinding. "Gue selesain supaya lo bisa istirahat, okay?" Katanya.

Ia pun mengangkat pisaunya lalu menusuk leher Resa berulang kali. Ia anggap itu adalah serangan terakhirnya.

"Good night, Resa ...."

Lantai rumah yang mulanya putih, kini dibanjiri oleh darah pemiliknya sendiri.

Orang itu berdiri, menatap Resa yang tergeletak dengan perut dan leher yang menganga mengeluarkan cairan kental merah yang terus mengalir di lantai putih itu.

Pintu rumah yang tadinya terkunci, dengan santai ia buka karena kuncinya masih terpasang di knop gagang pintu. Ia lalu pergi begitu saja tanpa merasa berdosa atas apa yang telah dilakukannya.

***

"Brutal juga tuh orang, gue udah enggak heran lagi sih sama kelakuannya. Kelihatan dari dulu enggak pernah berubah." Ucap sosok itu.

"Lo mau rekrut dia buat gabung sama kita?" Bingung orang yang ada di hadapan sosok itu.

"Gue enggak senaif itu, lagian tanpa dia semua bakal berjalan sesuai sama rencana." Balas sosok itu sambil mengambil sebilah pisau yang baru diasah olehnya.

"Terus, gimana untuk ke depannnya? Ini menyimpang dari tujuan dan rencana kita."

"Kita tetep sama rencana awal. Tapi, mungkin ada sedikit tambahan." Ucapnya santai. Diangguki oleh orang yang ada di hadapannya.

***

AKHIR 12 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang