Menghilang selama berjam-jam. Aksara Gilang, cowok tinggi yang jahil dan hobi makan ini telah membuat kedua sahabatnya, Agas dan Leo bingung dan khawatir. Meskipun kelakuannya suka membuat pusing, Gilang selalu memberitahu jika ingin pergi ke suatu tempat. Namun, di situasi ramai seperti ini ia menghilang seakan lenyap di tengah keramaian pesta.
Agas dan Leo pun masih berusaha mencari keberadaan Gilang, sudah mencari di setiap sudut ruangan pun tak kunjung ditemukan batang hidungnya. Mereka berdua yang semakin curiga mulai mencari sambil bertanya pada orang-orang di sekitar. Berharap ada petunjuk untuk dapat menemukan Gilang.
Leo berusaha menemui beberapa tamu yang sekiranya dapat ditanya akan keberadaan Gilang. Namun, dari informasi yang didapatkan, rata-rata tidak ada yang melihat keberadaan Gilang.
Setelah bertanya ke sana sini namun tak mendapat petunjuk, ia pun menghampiri Agas yang juga sedang bertanya pada tamu lainnya.
"Udah ketemu, Gas?" Tanya Leo.
Agas menggeleng sambil menghela nafas kasar. "Belum, gue heran sama tuh anak, tadi ada sekarang enggak ada. Kayak Jalangkung aja." Gerutu Agas.
"Lo udah tanya Aley belum?" Tanya Leo.
"Males ah nanya sama dia," balas Agas menggerutu setelah mendengar nama Aley disebut.
"Kenapa?" Leo mengernyit bingung.
"Nanti gue malah dimaki-maki."
Setelah berbincang-bincang perkara hilangnya Gilang, tanpa sadar keduanya telah memasuki puncak acara, yakni tiup lilin dan potong kue.
Semua tamu nampak tersenyum dan bersmemangat dengan acara yang paling ditunggu-tunggu. Terlihat juga Arin dan Mira yang sedang tersenyum ketika kue tingkat dua itu diantarkan di hadapan mereka.
Sebelum meniup lilin, tentu saja hal yang tak boleh dilupakan saat acara ulang tahun adalah bernyanyi. Semua orang dengan gembira menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Arin yang sudah menginjak usia 17 tahun.
Arin nampak tersenyum sumringah. Ia bahagia, walaupun tak semua teman-temannya bisa hadir di hadapannya untuk merayakan acara yang paling dinantikan dalam hidupnya.
BRAAKKK!!
....
....
Tiba-tiba saja sebuah benda jatuh dari lantai dua rumah Arin, semua orang berteriak histeris karena benda yang jatuh bukanlah benda mati melainkan tubuh manusia dengan darah yang sudah melebar di lantai. Semua orang berhamburan keluar dengan raut ketakutan.
AKHHH!!
Agas dan Leo terkejut melihat tubuh teman yang sedari tadi dicari-carinya itu ternyata telah menjadi seonggok mayat.
Wajah Gilang membiru, di lehernya ada bekas tali yang menandakan bahwa ia baru saja dicekik oleh seseorang.
Arin menelan salivanya kuat-kuat. Wajahnya terlihat memucat karena panik dan ketakutan. Tak lama kemudian ambulans dan polisi datang untuk mengurus kematian Gilang. Pihak kepolisian telah menetapkan bahwa ini adalah kasus pelenyapan.
Aley mulai curiga, ia langsung mendorong tubuh Arin dan marah tanpa sebab. Orang tua Arin terkejut atas perbuatan Aley kepada anak semata wayangnya.
"Ini semua perbuatan lo, kan?! Ngaku!" Tuduh Aley.
"Bukan gue, Ley." Arin menyangkal tuduhan tanpa bukti tersebut.
"Kenapa kamu menuduh anak saya? Kamu punya bukti?" Tanya Papa Arin bingung.
Khawatir sang Papa akan tersulut emosi, Arin berusaha menenangkannya. "Pah ...."
"Maaf ya, kamu tidak bisa menuduh anak saya seperti itu tanpa bukti yang jelas. Itu bisa memunculkan fitnah dan bahkan dapat menjadi kasus pencemaran nama baik seseorang." Ungkap Papa Arin.
"Maaf kalau saya bersikap lancang ya, Om, tapi saya yakin kalau anak Om ini adalah dalang dari setiap pembunuhan dan teror yang menimpa kami di sekolah." Balas Aley dengan nada sedikit meninggi.
"Berani sekali kamu meninggikan suara di depan orang tua! Dasar anak tidak sopan! Memangnya kamu punya bukti bahwa anak saya yang melakukan itu?" Marah Papa Arin pada Aley.
"Pah, sudah jangan emosi." Sang istri berusaha menenangkan.
"Jadi, teman-teman kamu yang meninggal itu karena pembunuhan?" Tanya Papa Arin pada Arin. Sang anak mengangguk pelan lalu menunduk.
"Kenapa polisi enggak bisa nuntasin kasus ini sih? Buat resah saja." Ucap Mama Arin khawatir.
"Ingat ya Om, Tante, jagain anaknya supaya nggak melewati batas dengan membunuh teman-teman saya yang masih hidup. Gara-gara dia sahabat saya jadi korbannya." Ucap Aley dengan sinis.
"JAGA UCAPAN KAMU!!" marah Papa Arin.
Dengan inisiatif Leo membawa Aley pergi dari hadapan orang tua Arin. Ia tidak ingin ada keributan baru yang berujung kacau.
"Pah sudah, Pah ...."
Mama Arin menenangkan suaminya dan memberikan minum untuk meredakan amarahnya yang telah memuncak.
"Kalian enggak apa-apa, kan?" Tanya Arin pada Agas dan Mira yang terlihat ketakutan.
Mira yang tepat di sebelahnya mengangguk dan tersenyum, berusaha untuk membebaskan rasa bersalah yang ada di dalam diri Arin karena pestanya menjadi tempat pembunuhan.
"Lo enggak usah cemas gitu, ini semua bukan salah lo kok," ujar Mira sambil mengelus punggung sahabatnya yang nampak gelisah. Arin lega mendengar itu dari mulut Mira. Jujur saja, hanya Mira yang paling mengerti perasaan Arin saat ini.
"Tau dari mana ini bukan salahnya Arin?" Sahut Leo.
Mira dan Arin menatap Leo bingung.
"Gue pulang duluan ya," ujar Leo bergegas untuk segera pergi.
Agas yang berada di samping Leo tersenyum tipis lalu ikut pergi bersama Leo.
"Happy sweet seventeen. Semoga lo panjang umur." Ucap Agas dengan nada lelah, sebelum ia pergi.
Arin merasa dirinya telah dijadikan sebagai penjahat di sini, ia disudutkan oleh teman-temannya. Apakah dia nampak seperti seorang pembunuh?
***
Di kamar dengan warna cat bernuansa biru, seorang gadis tengah bernyanyi sambil menari dengan lincah. Suaranya yang melengking menggema kuat ke seluruh ruangan. Saat sedang asyik menari dan bernyanyi, ia dikejutkan dengan panggilan telepon dari seseorang melalui ponselnya. Saat mengangkat telepon dan mendengarkan apa yang diinformasikan padanya, ia terkejut mendengar kabar yang tak ingin di dengarnya.
Syok karena mendapat kabar dari pihak rumah sakit terkait kematian saudaranya, gadis dengan nama lengkap Mikayla Ginanda itu melempar ponselnya ke arah dinding sampai jatuh dengan kencang hingga hancur.
AARRGHH!!
Ia berteriak seakan tak percaya dengan hal yang baru saja ia dengar.
Gina marah, sedih, dan frustasi. Saking marahnya ia memukul cermin hingga tangannya terluka dan mengeluarkan darah. Gadis itu menatap wajahnya di depan cermin retak yang menampilkan ekspresi wajah marah bercampur dendam.
"Gue enggak akan biarin pembunuh itu berkeliaran bebas. Gue akan balas perbuatannya." Seringainya penuh dendam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR 12 [END]
Mistério / Suspense𝗕𝗮𝗯 𝗸𝗼𝗺𝗽𝗹𝗶𝘁 + 𝗠𝗶𝗻𝗶𝗺 𝘁𝘆𝗽𝗼 Kisah dimulai dengan kematian Chandra, seorang siswa kelas 12 di SMA Cakra Garuda yang ditemukan tewas di toilet sekolah. Ketegangan semakin meningkat ketika Resa, teman sekelasnya juga ditemukan tewas di...