BAYANGAN

484 83 88
                                    

Liburan yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan kini berubah menjadi teror yang membayangi. Tifani, siswi teladan yang dikenal penuh dedikasi, ditemukan tewas secara mengenaskan. Leo, yang biasanya ceria, kini terlihat lebih muram dari biasanya.

“Yang dibunuh itu Tifani,” ucapnya pelan, namun sarat emosi.

"APA?!"

Arin langsung bereaksi. “Jangan bercanda, Leo, enggak lucu tau!” serunya, mendorong Leo dengan marah. Leo memang sering kali melewati batas dengan candaan gelap, tapi kali ini raut wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda bercanda.

“Gue enggak bercanda!” balas Leo dengan tegas, wajahnya terlihat tegang.

Arin mulai menangis. “Enggak mungkin! Lo pasti bohong, kan?!” Tangisnya semakin kencang, memaksa dirinya untuk tidak mempercayai kenyataan pahit itu.

Mira yang berada di dekat Arin, berusaha menenangkannya, mengusap punggung sahabatnya itu. “Ra, tenang….”

Namun, ketenangan itu sulit ditemukan. Kematian Tifani bukan sekadar tragedi biasa. Luka-luka yang ada di tubuhnya menandakan satu hal: pembunuh yang sama masih berkeliaran. Luka mengerikan yang sama ditemukan pada tubuh Chandra di toilet sekolah, juga pada Resa yang tewas di rumahnya. Tusukan-tusukan dalam yang mengeluarkan cairan berbau, tanda khas pembunuh sadis yang kini kembali menghantui.

Agas, Aley, Leo, Gilang, Mira, dan Arin berkumpul, masing-masing terjebak dalam lingkaran ketakutan. Pembunuhan demi pembunuhan yang terjadi membuat mereka overthinking. Siapa yang akan menjadi target selanjutnya? Mereka tak bisa lagi fokus pada ujian, nilai, atau kelulusan. Semua itu terasa tak berarti.

Di kelas XII-1, suasana berubah kelam, bak rumah yang kehilangan cahaya. Setiap sudut kelas dipenuhi rasa takut dan cemas. Gilang, yang selalu terlihat kuat, akhirnya menyerah pada teror ini.

“Gue pasrah,” katanya pelan, memecah keheningan.

"Pasrah gimana?" tanya Agas, berusaha menahan rasa takutnya.

“Pasrah kalo pembunuh itu bakal habisin nyawa gue sebelum gue lulus SMA,” jawab Gilang dengan nada getir.

Aley tiba-tiba angkat suara. “Kita semua udah jelas jadi incaran! Pembunuh itu enggak bakal berhenti sampe kita semua habis. Gue capek. Apa sih sebenarnya maunya?”

“Ngaku aja!” Tiba-tiba Aley berteriak dengan marah. “Siapa yang udah ngebunuh Chandra, Resa, Gavin, sama Tifani?! Ngaku aja biar selesai semuanya!”

Suasana semakin tegang. Semua orang memandang satu sama lain dengan curiga. Gilang menatap Leo dengan tajam. “Kenapa lo lihat gue kayak gitu?” tanya Leo defensif. “Lo curiga sama gue?”

“Lo aneh belakangan ini,” jawab Gilang, penuh kecurigaan.

“Gue? Lo nuduh gue pembunuhnya?”

Suasana ruangan semakin tegang. Aley masih dengan emosi yang meluap-luap, sementara yang lain diam dalam kebingungan dan ketakutan. Tatapan Gilang pada Leo yang penuh kecurigaan tak terlepas, seakan menciptakan jarak di antara mereka yang seharusnya saling mempercayai.

"Lo pasti ada hubungannya sama kematian mereka, Leo!" tuduh Gilang dengan suara bergetar, matanya tidak lepas dari Leo yang masih berdiri dengan wajah serius.

"Ngaco lo, Lang!" Leo mendengus, kedua tangannya mengepal, seolah-olah menahan diri dari meledak. "Gue nggak ada sangkut pautnya sama ini semua. Lo pikir gue tega ngelakuin hal keji kayak gitu?"

Agas akhirnya berdiri di antara mereka, mencoba melerai ketegangan yang hampir tak tertahankan. "Udah, udah, jangan asal tuduh, Lang. Kita nggak punya bukti apa-apa. Kita semua panik, tapi bukan berarti kita bisa nuduh sembarangan."

Wajah Leo memerah. "Gue enggak pernah mau ini terjadi! Gue enggak mau liat temen-temen gue mati satu-satu tanpa alasan jelas! Lo pikir gampang buat gue?!" suaranya menggema di ruangan yang terasa semakin sempit oleh ketegangan.

Di sudut ruangan, Mira yang sejak tadi diam tak mampu menahan dirinya lagi. "Tolong, kita jangan saling tuduh kayak gini!" Suaranya parau, hampir menangis. "Kita semua udah kehilangan banyak, jangan tambah rusak dengan kita saling curiga."

Arin, yang juga terlihat sangat terguncang, mengangguk setuju.

Tiba-tiba, ponsel mereka bergetar. Semua mengeluarkan ponsel dari saku. Sebuah pesan masuk.

Udah gue bilang, kalian enggak akan pernah bisa lari. Siapa berikutnya? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Seketika, suasana berubah. Diam. Tak ada yang berbicara selama beberapa detik, tapi keheningan itu terasa memekakkan telinga. Tatapan semua orang kini bukan lagi hanya tertuju pada Leo atau Gilang, tapi pada bayangan gelap yang tak terlihat—seseorang yang entah di mana, mengintai, dan mungkin saja sedang menunggu langkah berikutnya.

Gilang menelan ludah dengan susah payah, suaranya parau saat ia bicara. "Apa ini artinya kita semua bakal dibunuh satu per satu?"

Semua saling memandang satu sama lain dengan tatapan yang mulai berubah. Siapa sebenarnya yang bisa dipercaya? Di antara mereka, mungkin ada yang menyimpan rahasia kelam yang selama ini tersembunyi di balik wajah tenang mereka. Teror yang melanda tak hanya soal pembunuhan, tapi juga rasa tidak percaya yang mulai menggerogoti persahabatan mereka.

***

Di sebuah ruangan yang remang-remang, aroma kayu yang terbakar samar-samar tercium, dan hanya ada satu lampu redup yang menggantung di tengah langit-langit. Dua sosok duduk berhadapan di meja, obrolan mereka semakin mendalam.

"Akting lo bagus juga," kata sosok yang pertama, tersenyum tipis.

"Gue belum ada apa-apanya dibandingkan dengan lo," balas sosok kedua, matanya menatap tajam, seolah penuh rasa hormat tapi juga kewaspadaan.

"Lo patut diacungi jempol karena keputusan lo buat bantu gue melancarkan rencana ini," kata yang pertama lagi, suaranya rendah tapi penuh kendali. Namun, dia tiba-tiba menghentikan kalimatnya, mempersempit jarak antara wajah mereka, "Tapi, ada hal yang harus lo tau sebelum kerja sama kita semakin jauh."

Sosok kedua meneguk ludah, matanya berkedip cepat. "Hal yang harus gue tau?"

Sebelum jawaban keluar, terdengar ketukan di pintu.

“Masuk!” titah yang pertama dengan suara otoritatif.

Pintu berderit terbuka, dan seorang pria memasuki ruangan. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun langkahnya mantap.

"Kalian?" gumam sosok kedua, kaget saat mengenali pria itu. Matanya membelalak, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Namun, belum sempat ia bertanya lebih jauh, orang pertama mengangkat tangan, menahan kata-katanya.

"Ssttt! Ini akan jadi rahasia kita,” potongnya, menatap lekat-lekat ke sosok yang baru datang. Ada sesuatu di matanya, semacam peringatan yang tidak perlu diucapkan.

"Sekarang, lo boleh pulang," lanjutnya, kali ini suaranya terdengar lembut, namun ada nada pengusiran halus di dalamnya.

Sosok kedua berdiri dengan ragu-ragu, tapi tak berani menolak perintah tersebut. Saat ia berbalik hendak meninggalkan ruangan, sebuah pertanyaan akhirnya terlontar.

"Tunggu," katanya sambil menoleh kembali. "Jadi selama ini lo punya...?"

Yang pertama tersenyum dingin, sedikit mengangkat alisnya.

Ketegangan menggantung di udara. Sosok kedua kini benar-benar sadar bahwa ia telah terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar dan rumit daripada yang ia bayangkan. Orang yang ia pikir adalah sekadar rekan kerja, ternyata menyimpan rahasia yang tak terduga—sesuatu yang mungkin mengubah segalanya.

Saat dia melangkah keluar dari ruangan, sosok yang baru datang mendekati sosok pertama. "Apa dia tau semuanya?" tanyanya pelan.

Sosok pertama hanya tersenyum licik, pandangannya tetap terfokus pada pintu yang baru saja tertutup. "Belum. Tapi segera, dia akan tau lebih dari yang pernah dia bayangkan."

Ruangan itu kembali sunyi, hanya terdengar deru napas keduanya di tengah kegelapan.

***

AKHIR 12 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang