MALAM MENCEKAM 2

407 62 56
                                    

Agas terbangun dalam kegelapan. Matanya sulit fokus, dan kepalanya berdengung keras akibat hantaman benda keras di belakang kepalanya. Tubuhnya gemetar, namun ia tahu satu hal: ia harus kabur. Leo—sahabat yang pernah ia percaya—telah berubah menjadi ancaman mematikan, dan kini ia harus lari demi hidupnya.

BRAKKK!!

Dengan sisa tenaga yang ada, Agas mendorong pintu kamar mandi hingga terbuka, lalu berlari secepat mungkin ke ruang tamu. Nafasnya tersengal-sengal, otaknya hanya terpaku pada satu tujuan: kabur dari Leo.

"Agas?"

Agas tersentak saat mendengar suara seseorang yang juga ia kenali, langkahnya terhenti di ruang tamu untuk melihat sang pemilik suara.

"Mira?" Agas memanggil, matanya menatap sosok yang berdiri di bawah tangga. Perasaan lega dan takut berbaur di dalam dadanya. Kenapa Mira ada di sini?

Agas mempercepat langkah menghampiri Mira yang berdiri di bawah tangga. Namun, Agas tidak mempertanyakan keberadaan Mira yang saat ini sudah berada rumahnya, ia justru mengajak Mira untuk segera kabur.

"Lo kenapa, Gas?" Mira nampak bingung melihat wajah Agas yang panik sekaligus ketakutan.

"Kita harus keluar dari rumah ini, sekarang juga!" teriak Agas panik, menarik tangan Mira. Tapi Mira tidak bergerak, wajahnya terlihat bingung.

"Kenapa? Padahal gue baru aja sampe, lo bermaksud ngusir gue?"

"Bukan itu maksud gue, pokoknya kita harus lari sebelum dibunuh sama Leo."

Mira terdiam sesaat, matanya menatap Agas dengan tatapan yang sulit dibaca. "Leo?"

"Iya, dia pelaku yang sebenarnya, Mir."

Mira terdiam tak bergeming mendengar pernyataan Agas.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Agas membeku saat mendengar suara yang menghantuinya. "Mira?" Leo muncul, pisau lipat di tangannya, dan ekspresinya begitu dingin.

"Ayo kabur, Mir!"

Dengan sisa tenaganya, ia mencoba menarik Mira sekali lagi untuk kabur, tapi Mira tetap tak bergerak. Kali ini, tatapan Mira berubah menjadi dingin. Tatapan yang tak pernah Agas lihat sebelumnya.

Ketika Agas sedang ketakutan, Mira nampak tidak takut dan berdiri pada posisinya tanpa bergerak sedikit pun.

"Sejak kapan?" Mira menatap Leo dengan tajam.

....

....

"Belum lama, baru aja dimulai." Jawab Leo santai sambil menuruni anak tangga.

Melihat hal tersebut, Agas semakin panik dan berusaha untuk melarikan diri. Namun, lengannya ditahan oleh Mira.

"Kenapa gegabah?" Kali ini tatapan Mira semakin marah pada Leo.

Leo memutarkan kedua bola matanya sambil berdecak.

"Kita udah rencanain ini sejak awal, kenapa lo bikin kacau?" tanya Mira tiba-tiba dengan nada yang sama sekali tidak seperti yang Agas kenal.

Leo tertawa kencang, sementara Mira masih dengan ekspresi dingin, membuat Agas semakin gusar sekaligus bingung.

"Karena gue udah enggak sabar untuk habisi nyawa orang sok pintar itu," kata Leo lalu tersenyum pada Mira. "Tapi, lo datang di waktu yang tepat."

"Apa maksud—"

Tiba-tiba, sebelum sempat Agas melarikan diri, benda keras menghantam kepalanya. Pandangannya berubah gelap, rasa sakit luar biasa menyerang, dan tubuhnya terjatuh ke lantai dengan bunyi keras.

Agas berusaha membuka mata meski kepalanya sudah kunang-kunang dan tak sanggup untuk diajak kompromi.

"Kenapa?" tanya Agas.

"Lo seharusnya sadar diri, ini semua salah lo!" Jawab Leo dengan nada kesal.

Agas terkejut mendengar jawaban Leo, sedangkan Mira yang tengah melihat ekspresi Agas malah tertawa pelan.

"Gue salah apa, Leo?" lirih Agas dengan wajah memelas.

Pertanyaan itu membuat Leo berdecak dan melotot. "Masih nanya salah lo di mana?! Lo tau gue putus sama Tifani gara-gara dia masih naruh perasaan sama lo, sialan!" murkanya.

"A-apa maksud lo? Sejak kapan Tifani suka sama gue?" tanya Agas yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan sahabatnya ini.

"Sejak kapan? Lo masih nanya sejak kapan?! Lo emang bener-bener bikin gue muak, Gas!" geram Leo yang membuat keinginan untuk membunuh Agas semakin bertambah.

"Leo, kita bisa bicarain ini baik-baik. Lo enggak perlu ngelakuin hal ini." Ucap Agas berusaha bernegosiasi dengan Leo yang nampak sudah tersulut emosi dan ambisi.

"Ck! Cinta segitiga yang rumit." Decak Mira yang hampir bosan dengan pembicaraan dari kedua sahabat itu.

"Sudah terlambat, Gas. Gue udah berniat untuk melenyapkan nyawa lo, jadi bersiaplah untuk mati." Tandas Leo, lalu mulai berancang-ancang melakukan serangan kembali.

"Gue enggak tau apa yang lo rasain setelah tau Tifani masih naruh perasaan ke gue. Tapi, masalah kayak begitu terlalu sepele buat dijadiin alasan untuk bunuh gue. Gue sahabat lo, Leo. Ingat apa yang udah kita lalui bareng-bareng." Agas tak menyerah untuk menyadarkan sahabatnya saat ini.

Leo menodongkan pisau lipat tepat di depan wajah Agas yang masih tak berdaya di lantai. "Diem! Lo mau gue bunuh sekarang, huh?!"

Agas membeku, tak berani bergerak atau bersuara. Pisau lipat yang nampak tajam bak baru diasah begitu dekat dengan wajahnya, dan jika ia tidak menurut maka nyawanya akan langsung meninggalkan raganya saat ini.

"Leo, lama banget sih eksekusinya. Kalau lo enggak sanggup bilang aja biar gue yang habisi." Ujar Mira tiba-tiba yang nampak gregetan dengan Leo karena terlalu berbasa-basi.

"Ini bagian gue. Lo udah terlalu banyak bunuh yang lain. Jangan serakah." Leo memandang Mira dengan dingin.

"Ck! Lagian lama banget sih, kebanyakan basa-basi lu." Papar Mira, "habis ini kita harus ke rumah Arin dan Aley untuk eksekusi mereka." sambungnya.

"Arin dan Aley?" Tanya Agas.

Mira mendekati Agas dengan tatapan dingin. "Lama banget lo," ujarnya, lalu tiba-tiba menusukkan pisau lipatnya ke perut Agas. Pisau itu menembus dagingnya, menyebabkan rasa sakit luar biasa menjalar di tubuhnya.

Agas berteriak kesakitan, darah mengalir dari luka dalam di perutnya. Tangannya gemetar, mencoba menghentikan pendarahan, tapi sia-sia.

"Mira!" teriak Leo yang menyerang tanpa aba-aba darinya.

Mira menoleh dan menatap Leo yang ada di belakangnya. "Lo harusnya berterima kasih sama gue, berkat gue manusia ini bisa tutup mulut sekaligus tutup usia." Sambungnya menyeringai.

"Tapi, ini bagian gue, Mir!" Kesal Leo.

"Makanya jangan kebanyakan basa-basi." Balas Mira sambil menatap Leo dari sudut matanya dengan tajam.

Mira terheran dengan kondisi Agas saat ini yang masih bisa bernafas.

Leo berjalan selangkah ke hadapan Agas yang sudah terbaring tak berdaya di lantai. "Kalau gitu, gue tambah penderitaannya supaya lebih cepet."

Mira mengangguk setuju dan ikut melakukan hal yang membuat Agas berada di ujung tanduk.

"J-jangan!" Agas sudah benar-benar di ujung hidupnya, bahkan untuk mengatakan sepatah dua kata saja sudah tak sanggup.

Agas, yang kini berada di ujung hidupnya, mencoba berkata sesuatu, suaranya lemah dan putus-putus. "G-gue… min-ta ma-af…"

Namun, terlambat untuk minta maaf. Leo dan Mira telah memutuskan akhir dari hidup Agas.

It's to late to say apologize.

***

AKHIR 12 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang