Sebelas

2.6K 218 15
                                    

“Amasha jangan ngebut, dong! Bunda capek nih” aku terengah mengikuti Amasha yang asik meluncur dihalaman dengan sepatu roda nya.

“ya bunda ngapain ngikutin aku?” tanya Amasha santai.

“bunda takut kamu jatuh” kataku.

Amasha tertawa jumawa. “tenang aja bunda, aku ini hebat jadi nggak akan ja…”

Brak!!!

Belum selesai Amasha berbicara, anak ngeyel itu sudah tersungkur.

“aduh” Amasha megaduh.
Secepat kilat aku berlari menghampiri anak nakalku itu.

“bunda bilang juga apa” kataku sambil berkecak pinggang di hadapannya.

Amasha cemberut. “bantuin, bunda! Ngomelnya nanti aja”

Aku menghela nafas sebelum berjongkok dihadapan gadis kecilku. Perlahan kubuka satu persatu sepatu roda Amasha.

“untung pakai pelindung lutut sama helm, jadi nggak ada yang luka” kataku.

“kan safety bunda” sahutnya.

“safety juga harus hati-hati, baby”
Amasha mendengus. Ah, anak nakal ini.
Waktu aku selesai melepas sepatu nya, Amasha menepuk-nepuk lenganku, saat kutatap anak itu langsung menunjuk kearah gerbang. Aku mengikuti arah telunjuknya dan mendapati Andira, Chika dan Karina yang berjalan memasuki gerbang.

Andira tersenyum sumringah, Chika dengan raut wajah canggung sementara Karina dengan senyuman ramahnya.

“Amasha ganti baju dulu sama mbak suster, ya? Habis itu nanti main sama kak Andira sama kak Chika” kataku.

Amasha menggeleng. “aku mau main sama kak Andira, tapi nggak mau main sama anak yang manggil ayahku papa”

“hei, Amasha nggak boleh menyimpan dendam gitu. Harus nurut sama bunda supaya jadi anak yang baik, ya?” nasehatku.

Gadis kecilku itu mengambil alih sepatu roda di tanganku sebelum berlari masuk ke rumah.

“NGGAK MAU!” teriak nya sambil berlari.

Aku menghela nafas melihat tingkah Amasha.

“hai, auntie Irida” sapa Andira saat sudah tiba didekatku.

Aku bangkit sambil tersenyum.

“hai juga” sahutku. Ku usap pipi Andira dan Chika. Andira mengecup telapak tanganku yang ada di pipinya sambil terus tersenyum, gaya khasnya saat diberi sentuhan fisik oleh orang yang dia sayangi.

Sementara Chika tak melakukan apapun, tapi sudut bibirnya tersenyum seolah tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya, anak yang jujur.

“Amasha kenapa buru-buru masuk, auntie?” tanya Andira.

“dia baru selesai main, jadi baju nya keringetan. Auntie suruh dia ganti baju dulu, habis itu main sama kalian. Samperin aja ke kamarnya” jelasku.

Andira mengangguk, dia membungkuk sopan sebelum mengajak adik sepupunya masuk ke rumah.

“mereka nggak pa-pa dibiarin didalam rumah?” tanya Karina.

Aku mengangguk. “di kamar Amasha ada Salma, kok. jadi nggak masalah”

Karina ikut mengangguk.

Hening sejenak, benar-benar terasa canggung.

“kita mau ikut masuk?” tawarku pada Karina.

“aku nggak keberatan, tapi menurutku kita perlu ngobrol berdua. Dan aku takut kita nggak nyaman ngobrolnya karena ada anak-anak” kata Karina.

Ya, benar! Kita memang harus ngobrol. Banyak sekali pertanyaan dibenakku yang ingin kutanyakan pada Karina. Tentang siapa sebenarnya dia, bagaimana dia mengenal Dewa, apa hubungan mereka, kenapa Chika memanggil Dewa papa, dan masih banyak apa, kenapa, serta bagaimana yang berputar-putar di kepalaku.

Luka ini yang terakhir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang