Tiga Belas

2.2K 194 31
                                    

"bunda, kita mau kemana?" tanya Amasha saat aku mengikat tali  sepatunya.

"bunda nggak tau, kamu tanya ayah aja" jawabku.

"auntie beneran nggak tau kita mau kemana?" tanya Adelle yang berdiri di samping Amasha.

"Adelle, manggilnya bunda. Jangan auntie lagi!" tegur Amasha.

"eh iya aku lupa" katanya.

Aku yang sedang berjongkok di depan Amasha mendongak, menatap Adelle. 
"bunda nggak tau kita mau kemana sayang, mendingan kita buruan keluar, yuk? Ayah udah nungguin di mobil"

Dua anak itu mengangguk. Aku langsung bangun dan menggandeng mereka keluar rumah.

Mobil Dewa sudah terparkir di halaman. Begitu melihat kami keluar dari rumah, Dewa langsung keluar dari mobil. Dia menggendong Amasha masuk ke mobil, setelah menempatkan Amasha di jok belakang dan memasang seatbelt nya, Dewa keluar lagi dan melakukan hal yang sama pada Adelle.
Sementara aku duduk di jok depan dan Dewa di balik kemudi.

"udah siap semua?" tanya Dewa.

"siap dong" sahut Amasha.

"kita berangkat, ya?"

"oke ayah" seru Amasha dan Adelle bersamaan.

"kita mau kemana, sih?" tanyaku saat mobil kami meninggalkan pekarangan rumah dan turun ke jalan.

"ke rumah lama ku" jawab Dewa.

"rumah lama?" tanyaku.

Dewa menoleh padaku sekilas sambil tersenyum, kemudian mengangguk.

"rumah yang diceritakan oleh Karina, yang dulu pernah dihuni dia dan mama nya. Aku mau mengajak kalian melihat-lihat rumah itu" jelasnya.

Aku menatap suamiku dari samping.
"kamu nggak pernah ngasih tau aku soal rumah itu, kenapa sekarang tiba-tiba kamu ngajakin aku kesana?" tanyaku.

"memangnya kamu pernah bertanya ke aku tentang semua aset yang kupunya?" tanya nya.

Benar juga, aku nggak pernah bertanya apapun soal aset yang dimiliki Dewa sebelum menikah denganku.  Bagiku, semua yang Dewa berikan kepada aku dan Amasha selama ini sudah lebih dari cukup. Bahkan jika seumpama Dewa tiba-tiba jatuh miskin dan kami hanya bisa makan dua kali sehari pun aku akan tetap bersyukur seperti sekarang. Selama Dewa yang menjadi suamiku, aku akan tetap bersyukur.

"sayang, kenapa diem?" tanya Dewa.

"nggak kenapa-kenapa" aku tersenyum.

"sekarang kamu kan sudah tau semua cerita soal Karina, jadi aku mau menunjukkan ke kamu semua hal tentang masa lalu aku dan Karina. Aku nggak ingin ada kesalahpahaman seperti sebelumnya" ujar Dewa.

Aku mengangguk, walaupun tau kalau Dewa tidak melihat anggukanku.

Setelah melalui hampir satu jam perjalanan, Dewa menghentikan mobilnya di depan gerbang tinggi berwarna hitam. Dewa turun dari mobil kemudian menekan bel beberapa kali. Setelah menunggu beberapa saat, pintu gerbang terbuka. Seorang pria paruh baya keluar dari gerbang lalu menghampiri Dewa. Suamiku itu menyalami dan memeluk singkat si pria paruh baya. Mereka ngobrol beberapa saat sebelum Dewa kembali ke mobil dan si bapak itu membukakan gerbang. Dewa mengemudikan lagi mobilnya memasuki gerbang.

Aku mengamati keadaan sekitar, rumah dua lantai bercat putih ini teelihat jauh lebih kecil dibandingkan dengan rumah yang kami huni. Tapi pekarangannya terlihat luas dan terawat. Benar-benar bersih dan kelihatan sangat nyaman.

Beberapa pohon akasia di dekat pagar rumah mengingatkanku kepada rumah kastel kakek Ainesh di Bogor. Tempat yang dulu sekali ku kunjungi setiap merindukan Ainesh yang kuliah di luar negri.

Luka ini yang terakhir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang