Sepuluh tahun kemudian. . .
"bunda, aku pulang" seru Amasha saat menghampiriku di ruang tengah.
Aku yang sedang membuka-buka halaman majalah fashion segera menghentikan aktifitas. Langsung kuletakkan majalahku ke meja.
Putriku ikut duduk di sofa yang sama denganku. Kepalanya dia sandarkan ke bahuku.
"pulang sama siapa?" tanyaku.
"nebeng Keenan" sahut Amasha.
"gimana di kampus tadi?" tanyaku sambil mengusapi kepalanya.
"biasa aja" sahut anak itu.
"nggak ada sesuatu yang berkesan?" tanyaku lagi.
Amasha berpikir sebentar, kemudian mengangkat kepalanya dari bahuku.
"ada bunda" katanya.Aku menatap Amasha.
"apa tuh?" tanyaku."pacarku mau ketemu sama bunda dan ayah" katanya.
Aku mengerjab beberapa kali.
"pacarmu?"Amasha mengangguk.
"aku udah pacaran sama dia lebih dari setahun, hampir dua tahun""kok nggak pernah diajak kerumah?" tanyaku.
Amasha mendengus.
"bunda ih, kayak nggak kenal ayah aja!"Aku tertawa.
Benar juga, Dewa itu menyebalkan sekali. Dia selalu bersikap menyebalkan kepada semua teman-teman pria Amasha. Sejak dulu suamiku itu tidak pernah berubah.
Kalau aku jadi Amasha, aku juga akan berpikir puluhan kali untuk mengenalkan pacarku kepada Dewa.
"terus gimana? Kamu bilang apa ke pacarmu?" tanyaku.
Amasha mengedikkan bahunya.
"kubilang ayahku galak, bundaku baik. Kalau kamu mau ketemu sama orang tuaku, tunggu dulu ya, aku bilang bundaku dulu. Gitu bunda"Aku terkekeh.
"kenapa kamu jujur banget""bunda bilang aku harus selalu jujur" kata Amasha.
"Jadi, kamu mau bunda gimana?" tanyaku.
Amasha menyentuh tanganku.
"bunda ngomong sama ayah, dong. Ayah kan nurut sama bunda""bunda harus ngomong apa ke ayah?" tanyaku lagi.
"ya bunda kasih pengertian ke ayah, bilang baik-baik kalau aku ini udah besar. Udah pantes buat pacaran. Terus aku punya pacar dan pacarku mau ketemu sama ayah. Gitu" Amasha memohon.
"kamu kan tau ayahmu paling tegas kalau soal pacaran" kataku.
"aku juga tau kalau ayah paling takut dan nurut ke bunda. Ya bunda? Please" Amasha mulai merengek. Anak itu bahkan menunjukkan wajah memelasnya yang membuat hatiku bergetar.
Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa kulakukan selain menurutinya? Amasha memang selalu tau saat yang tepat untuk mengeluarkan jurus andalannya itu setiap kali kularang melakukan sesuatu atau membutuhkan izinku untuk berbuat sesuatu.
Kuhela nafasku panjang, kemudian mengangguk pasrah. Lagi-lagi aku harus kalah dari Amasha.
Amasha sumringah. Anakku langsung memelukku dan mengecupi pipiku berulang kali.
"Amasha bau! Belum mandi! Mandi dulu sana!" kataku sambil menjauhkan wajahnya dari wajahku.
Amasha menurut, dia langsung berdiri.
"makasih bunda! Aku sayang bunda!" katanya sebelum berlalu ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka ini yang terakhir (END)
Romancecerita ketiga dari #LukaSeries. Luka Series : 1. Menolak luka, merelakan yang dicintai untuk pergi. 2. Selamat tinggal luka, saat kutemukan kebahagiaanku lagi. 3. Luka ini yang terakhir, bahwa kebahagiaan nyata itu ada diujung setiap pencarian. ____...