Seharusnya aku tidak mengajak Dewa dan Amasha datang ke pesta ini. Seharusnya kami tidak perlu bertemu Karina. Seharusnya Dini tidak perlu mengadakan pesta ini.
Aku tak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini, saat kulihat suamiku ditatap dengan tatapan penuh kerinduan oleh Karina. Dan aku lebih tak bisa membayangkan perasaan Amasha, waktu mendengar ayahnya dipanggil dengan panggilan "papa" oleh anak lain yang bahkan tak dikenalnya. Aku juga tidak bisa membayangkan perasaan Dini yang mungkin merasa sangat bersalah sudah mempertemukan kami begini. Aku tidak mengerti, aku masih tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi disini, dan aku tidak punya tenaga untuk memikirkannya. Yang sanggup kulakukan hanya menggandeng Amasha dengan tangan bergetar, perlahan aku berbalik untuk membawa anakku pergi.
Dewa menarik sebelah tanganku yang bebas dari gandengan Amasha, dengan lemah kutepis tangan hangat suamiku. Tangan yang selalu digunakannya untuk melindungi serta membahagiakan aku dan Amasha.
Aku tidak menangis, aku juga masih sanggup melangkah gontai sampai kerumah. Tanpa mengatakan apapun, kubawa Amasha ke kamar lalu kukunci pintu kamarku.
Amasha yang biasanya cerewet malah mendadak jadi seperti orang bisu. Amasha yang biasanya selalu mengamuk dan menangis kencang saat di jahili, kali ini bahkan tak meneteskan air mata sama sekali. Wajahnya pias, tatapan mata nya kosong seolah tengah kebingungan mencerna apa yang baru saja terjadi, persis sepertiku.
Ini tidak bagus. Seharusnya Amasha mengamuk dan meraung seperti biasa. Seharusnya dia cerewet bertanya tentang apa yang terjadi. Seharusnya gadis kecilku itu penuh rasa penasaran seperti yang seharusnya. Kenapa dia hanya diam seperti orang dewasa yang kesakitan? Seolah-olah dia paham yang sedang kurasakan.
Astaga, apa yang sedang kulakukan? Kenapa aku malah melamun begini.
Sadarlah Irida! Sadarlah demi Anakmu. Untuk apa aku terbuai dalam lamunan seperti ini? Mari kita mulai berpikir dengan logika.
Suamiku selingkuh? Apa itu benar?
"bunda"
Aku segera menoleh ke Amasha, anakku yang sejak tadi diam sekarang mulai menangis.
"kenapa sayang?" tanyaku.
"papa itu artinya ayah kan? Daddy kan?" tanya Amasha.
Aku mengangguk.
"anak itu manggil ayahku 'papa' padahal aku anak tunggal" racau Amasha.
Pelan, kutarik anakku kedalam dekapan.
"bunda, aku nggak mau ketemu ayah. Aku marah sama ayah" oceh nya sambil terisak.
Aku tak menyahut, ku usap pelan punggungnya agar dia tenang.
"sayang"
Amasha terdiam waktu mendengar suara Dewa dari balik pintu.
"sayang, kita perlu bicara" kata Dewa lagi.
Aku masih tak menyahut.
"sayang, please"
Aku masih diam.
"Irida, sayang. Ini cuma salah paham"
Salah paham katanya? Apa dia paham perasaanku saat mendengar dia dipanggil papa oleh anak orang lain?
"oke kalau kamu nggak mau buka pintu nya, tolong dengerin aja, ya?"
Aku terus diam.
"anak itu namanya Chika, dan dia bukan anakku" kata Dewa lantang.
"KALAU DIA BUKAN ANAK KAMU, KENAPA DIA MANGGIL KAMU PAPA?" teriakku kehabisan akal.
Tak ada sahutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka ini yang terakhir (END)
Romancecerita ketiga dari #LukaSeries. Luka Series : 1. Menolak luka, merelakan yang dicintai untuk pergi. 2. Selamat tinggal luka, saat kutemukan kebahagiaanku lagi. 3. Luka ini yang terakhir, bahwa kebahagiaan nyata itu ada diujung setiap pencarian. ____...