Delapan Belas

2.1K 175 26
                                    

Sembilan tahun yang lalu. . .

Keiko pov

Aku baru keluar dari kamar Adelle saat kudengar suara isakan dari dapur. Kulirik jam dinding terdekat, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

Pantas saja mataku sudah sangat mengantuk, Adelle sedikit demam hingga sedikit rewel. Bayiku itu bahkan menolak digendong pengasuhnya, jadi aku seharian sibuk mengurus anak itu.

Tunggu, aku harus kembali fokus. Suara isakan siapa yang kudengar? Jam segini para pekerja pasti sudah kembali ke kamar masing-masing.

Perlahan kulangkahkan kaki mengikuti sumber suara yang membawaku ke meja bar di dapur.

Di sana, kulihat suamiku tengah duduk sendirian. Beberapa botol miras yang sudah kosong dan satu gelas kaca berjejer di atas meja bar yang ada di hadapannya.

Suamiku bukan tipe orang yang suka mabuk-mabukan. Bahkan saat dia tinggal di luar negri, Ainesh sama sekali tidak pernah minum.

Sekarang kulihat dia sedang mabuk sendirian sambil terisak-isak. Apa yang sebenarnya mengusik pikirannya?

Kudekati Ainesh perlahan.

"Nesh" panggilku saat sudah tiba di sampingnya.

Ainesh menoleh kearahku, isakannya berhenti.
"istriku" katanya dengan mata merah sayu yang mengisyaratkan kalau dia sangat mabuk.

Kubuang semua botol kosong itu ke tempat sampah, lalu kucuci gelas bekas minumnya.

"jangan meninggalkan jejak, anak-anak nggak boleh tau kalau ayahnya mabuk-mabukan" kataku sambil duduk di sampingnya.

Ainesh mengangguk linglung.
"aku lupa, anakku banyak"

"gimana bisa kamu melupakan anak-anakmu?" tanyaku jengkel.

Ainesh hanya terkekeh.

"kamu boleh melupakanku, aku juga nggak pernah minta kamu untuk mencintaiku. Tapi kamu nggak boleh melupakan anakmu, kamu harus mencintai mereka" kataku tegas.

Ainesh mengangguk lagi.

Aku menghela nafas.
"kenapa kamu minum? Ada masalah di kantor?" tanyaku.

Ainesh menggeleng.
"aku hebat, mana mungkin masalah kantor bisa mengusikku"

"terus ada apa?" tanyaku.

Ainesh menoleh padaku lagi.
"hari ini Irida melahirkan. Gadis yang seharusnya melahirkan anakku, hari ini melahirkan anak orang lain. Hari ini cintaku untuknya benar-benar sudah harus kubunuh"

Jujur, hatiku sakit mendengar pengakuannya, tapi aku sudah sangat terbiasa dengan semua ini.
Aku sudah terbiasa hidup bersama laki-laki yang mencintai wanita lain.

Perasaanku benar-benar tidak penting lagi. Aku harus bertahan menjadi istrinya demi Anak-anakku. Selama Ainesh tetap mencintai anak-anakku, aku tak masalah.

Bagiku, yang terpenting adalah kebahagiaan anak-anak. Aku tidak peduli kalau Ainesh harus membunuh hatiku setiap hari, yang penting anak-anakku harus bahagia bersama kedua orangtua nya.

"seharusnya kamu bunuh perasaanmu untuknya sejak lama" kataku pelan.

Ainesh mendengarnya, dia menatapku dalam.

"kenapa bisa ada perempuan sebaik kamu?" tanya nya.

Aku menggeleng.
"aku tidak baik" kataku.

"aku selalu menyakitimu, tapi kamu tetap bertahan di sisiku" katanya.

Aku menghela nafas.
"aku tau kalau aku tidak berhak untuk ini, tapi bolehkah kutanyakan satu hal?"

Luka ini yang terakhir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang