New Fact

4.8K 508 283
                                    

Anyeong Poeny
Gimana ... masih kuatkah?
Masih siap melanjutkan kisah mereka?
.
.
.
.
.

Happy Reading!
.
.
.
.



Setelah beberapa saat hening di antara mereka, akhirnya Latisya memberanikan diri. “Vin!” lirihnya saat pelukan mereka telah terurai.
Laki-laki yang dipanggil hanya diam memperhatikan— menyorot binaran bola mata Latisya yang terlihat sedikit meredup. “Kenapa?” tanyanya seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga milik istrinya.

Latisya mencoba menimbang apa yang akan dia ucapkan pada Vin— ragu, tapi sepertinya memang harus. “Bisakah kamu tidak melepaskan ku, Vin?” Latisya berujar dengan tangan yang saling meremat satu sama lain. Kata yang sebenarnya memang ingin ia ungkapkan. Mencoba untuk menyalurkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Walaupun Latisya tak yakin dengan jawaban  Vin akan membuat hatinya tenang— atau malah sebaliknya? Kini dirinya hanya bisa menunduk, tak ingin Vin melihat bagaimana wajah sendunya. “Aku tidak punya tempat lain lagi.”

Pernikahan mereka seakan masih semu untuk Latisya. Rasanya masih sangat abu-abu, tidak putih dan tidak juga hitam. Vin bersikap seolah pernikahan mereka benar-benar ada, tapi di sisi lain ada suatu hal yang membuat Latisya tidak ingin mengartikan lebih atas sikap Vin belakangan ini.

Bukankah itu hal yang wajar? Jelas mereka menikah hanya karena rasa tanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan dulu. Mereka bersatu hanya untuk nyawa kecil tak berdosa yang kini tumbuh di dalam perut Latisya.

Jari telunjuk Vin meraih dagu Latisya, menariknya agar sang istri ikut menatapnya. “Aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang indah untukmu, tapi aku akan berusaha sebisaku untuk membahagiakanmu dan anak kita.”

Tentu saja Latisya merasa lega. Itu artinya Vin akan mempertahankan dirinya, bukan? “Terima kasih, Vin.” Dan tanpa ragu kini Latisya sudah memeluk laki-laki di depannya dengan erat. Berharap ini memang keputusan yang benar untuk diri mereka masing-masing.

Mereka terkekeh bersama. Perut buncit Latisya menghalangi pelukan mereka.
Vin sedikit merendahkan tubuhnya. “Kamu juga ingin pelukan dengan papa dan Mama?” Vin berujar seolah-olah dia dapat melihat anaknya.

Maka sinar langit senja yang menelisik masuk menjadi pengiring hangatnya keluarga kecil tersebut. Mencoba menyelimuti hati yang  semula membeku. Latisya berharap penuh pada pria yang bersamanya kali ini. Dia telah merelakan cintanya yang dulu dan biarkan pengorbanan orang yang pernah dicintainya tak sia-sia.

**


Semenjak pembicaraan mereka tadi sore, kini Latisya tidak ragu lagi untuk memeluk Vin di malam hari, di atas tempat tidur. Jujur, setiap malam dirinya selalu mencuri kesempatan untuk menghirup aroma dari tubuh Vin. Gengsinya masih membumbung tinggi untuk mengatakan keinginan sang jabang bayi— atau memang itu keinginannya sendiri(?)

Namun, sekarang sudah berbeda. Tanpa ragu lagi, Latisya sudah melingkarkan tangannya di atas perut pria yang tengah berbaring di sebelahnya kini.
Dering ponsel membangunkan kembali kesadaran mereka yang hampir saja telah masuk ke dalam ruang mimpi. Vin segera meraih ponselnya yang terletak di atas nakas.

....

“Kenapa harus malam-malam begini sih, Mom?”

....

“Oke, besok aku akan ke sana dengan Latisya.”

“Siapa?” tanya Latisya setelah Vin memutuskan panggilan dan meletakkan kembali ponselnya.

“Besok minggu anniversary Mommy dan Daddy. Kita harus ke sana.”

“Acara perayaan?”

“Hanya keluarga inti. Barbeque di halaman belakang— biasanya, sih.”

Setiap tahun orang tua Vin memang selalu merayakan hari jadi mereka. Terkadang Vin sampai heran karena kadar keromantisan orang tuanya tidak pernah surut. Malah sekarang makin menjadi karena sudah tidak pernah terganggu oleh anak-anaknya lagi.

Hampir setiap akhir pekan mereka selalu keluar untuk kencan, seperti anak muda jaman sekarang. Bahkan terkadang bisa tiba-tiba liburan ke luar negeri berdua. Katanya honeymoon.

Barata pernah bercerita, bahwa saat awal pernikahan mereka dulu, mereka tidak sekaya sekarang. Bahkan resepsi mereka hanya disaksikan oleh keluarga inti, tanpa ada embel-embel pesta sama sekali. Karena sekarang sudah merasa lebih dari berkecukupan, Barata ingin membahagiakan istrinya. Memberikan hal yang dulu belum bisa dia berikan pada Martha. Kalau mau, setiap hari pergi kencan juga tidak apa-apa.

Bagi Barata, Martha adalah sosok wanita yang pantas dia utamakan. Tanpa sang istri, dia tidak akan pernah bisa sampai di titik ini sekarang. Begitu cintanya sampai nyawa pun akan dia berikan pada sang istri.

“Kenapa? Kamu tidak bisa datang?” tanya Vin yang melihat Latisya hanya diam.

“Tentu saja aku bisa. Itu adalah acara penting.”

Vin [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang