Getting Close

5.2K 521 263
                                    



Pada usia kandungan tiga bulan, Latisya sudah bisa merasakan denyutan kecil dalam perutnya. Benar-benar hanya denyutan kecil. Apakah dia sudah berkembang? Seperti apa bentuknya sekarang? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terlintas di kepalanya. Seperti saat ini. Dia suka sekali berlama-lama di kamar mandi. Dia suka melihat pantulan dirinya pada cermin besar yang terletak di sebelah bath up.

Perutnya sudah mulai mengalami perubahan. Ada gundukan kecil yang menyembul di sana. Walaupun tidak begitu nampak, tapi Latisya bisa merasakannya. Mungkin kalau dia keluar rumah tidak ada yang mengetahui kalau dia tengah hamil. Tangannya perlahan mengusap perutnya lembut, memberikan sentuhan hangat seolah tengah menenangkan bayi mungil di dalam sana.

“Maafkan mama ya, Sayang.” Hanya kalimat itu yang bisa Latisya ucapkan. Dia kembali teringat beberapa waktu yang lalu. Berulang kali mencoba untuk melenyapkan makhluk kecil yang singgah dalam perutnya, padahal dia sama sekali tidak bersalah. Dia tidak pernah meminta untuk dihadirkan. Mungkin suatu saat nanti hanya dia lah yang akan menemaninya. Bahkan di saat semua orang pergi meninggalkan dirinya sekalipun. Hanya dia lah yang kelak menjadi tujuan dan semangat hidup Latisya.

“Ayo kita hadapi bersama-sama. Yakinkan mama kalau kita berdua masih punya kehidupan yang lebih indah suatu saat nanti.”

Kini bukan tangis lagi yang Latisya tampakkan, tapi seulas senyum hangat yang dia pancarkan lewat cermin di depannya. Mencoba memberikan semangat pada dirinya sendiri dan juga makhluk kecil yang ada dalam tubuhnya.

Tanpa wanita itu sadari dari balik pintu Vin tengah berdiri tegak mendengarkan percakapan istrinya dengan calon anaknya. Ada kelegaan tersendiri ketika Latisya sudah berdamai dengan keadaan. Tidak apa-apa kalau dia belum bisa menerimanya, yang terpenting Vin yakin kalau Latisya tidak akan berbuat macam-macam terhadap kandungannya seperti beberapa minggu yang lalu.

**

Seperti pagi sebelum-sebelumnya, Vin tengah menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga Latisya. Sudah dibilang, kan, kalau Latisya tidak begitu pandai dalam urusan dapur. Terlebih dengan kondisi wanita itu yang kini tengah hamil, membuatnya tidak begitu bersahabat dengan bau-bau bumbu yang tengah ditumis.

Biasanya wanita hamil saat memasuki trimester pertama akan merasa lebih baik, tidak merasakan morning sicknes. Tapi, tidak dengan Latisya, kadar mualnya malah semakin menjadi. Atau memang setiap ibu hamil merasakan hal yang berbeda-beda(?)

Vin tengah membuat bubur yang pernah dia buatkan untuk Latisya saat pertama kali wanita itu tinggal di apartemennya. Melihat Latisya yang selalu lahap dengan menu itu, jadi hampir setiap pagi Vin menghidangkan bubur tersebut. Semoga saja Latisya tidak bosan.

“Kamu memasak apa hari ini?” Menarik kursi dan segera duduk manis dengan tangan menyangga dagunya. Benar-benar seperti tuan putri. Tapi, Vin malah lebih suka, setidaknya dia masih mendapat sapaan di pagi hari. Bukan hanya dengan ritual kontak batin saja.

“Bubur lagi. Apa tidak apa-apa? Kamu ingin makan yang lain?”

Ibunya pernah bilang, Vin harus lebih sabar ketika menghadapi wanita yang sedang hamil.  Perubahan suasana hati bisa berubah kapan saja, begitu juga dengan selera makan. Oleh karena itu Vin berusaha untuk selalu membuat Latisya nyaman, pun dengan asupannya.

“Tidak masalah ... aku masih suka.” Nyatanya yang bisa diterima oleh perut Latisya memang hanya itu. Untuk makan siang dan malam dia lebih sering makan roti dan juga buah, sepertinya anaknya masih belum bisa beradaptasi dengan berbagai makanan yang memiliki bau tajam.

Mommy, tadi menelpon,” celetuk Vin yang tengah menuangkan cairan santan ke dalam panci buburnya. “Dia tanya, apakah kandunganmu sudah diperiksakan atau belum.”

“Baru tiga bulan.”

“Iya ... kata Mommy, usia awal kandungan setidaknya satu bulan sekali harus periksa untuk mengetahui perkembangannya. Setidaknya kita tahu dia benar-benar sehat.”

Latisya terdiam, dia bahkan tidak pernah memikirkan hal itu. Pikirnya, dia kan pergi ke dokter saat mendekati persalinan saja, ternyata salah. Bahkan dia belum pernah periksa sekali pun. Belum apa-apa saja dia sudah merasa gagal.

“Mau aku carikan dokter? Tadi Kak Joon menawarkan. Dia punya kenalan dokter kandungan yang bagus, kebetulan dia praktik di rumah sakit dekat sini, jadi kalau mau periksa tidak terlalu jauh juga.,” papar Vin yang masih sibuk mengaduk bubur tersebut, menunggu sampai mengental.

“Terserahmu saja.”

“Kira-kira jenis kelaminnya apa, ya?” gumam Vin yang cukup terdengar jelas oleh kuping Latisya.

“Vin, please!”

“Oke ... oke. Kan, aku hanya ingin menebak. Siapa tahu dapat dua sekaligus,” ujar Vin asal.

“Keluargamu ada yang kembar?” tanya Latisya tiba-tiba. Dia pernah mendengar kalau memiliki keturuunan kembar itu juga bisa dipengaruhi oleh gen. Setahu Latisya, keluarganya tidak ada yang memiliki gen kembar. Kalau keluarga Vin ternyata ada, bisa pusing kepalanya.

“Entahlah ... kenapa?” Vin menjawab ragu. Dia tidak begitu mengingat bagaimana silsilah keluarga besarnya. Terlalu besar, bahkan dia sampai lupa ayahnya memiliki saudara berapa. Mungkin sebelas, atau malah sebelas(?) intinya banyak sekali.

“Kalau anak kita kembar bagaimana?”
Kita?

Itu berarti Latisya mengakui kepemilikan bersama. Diam-diam Vin menahan senyum dengan posisi memunggungi wanita itu. “Sudah ... makan dulu. Nanti aku akan tanya, Mommy,” sela Vin bersamaan menyodorkan satu mangkuk bubur ke hadapan Latisya.

Mereka makan dengan tenang, suap demi suap mereka nikmati sebelum suara itu datang.

Huek ... huek

Baru juga setengah jalan. Belum selesai menghabiskan sarapannya, Latisya sudah mengeluarkan makanan tersebut sampai perutnya kosong. Selalu seperti itu. Sedangkan Vin yang sebelumnya tengah menikmati sarapan paginya pun ikut berdiri membantu mengusap punggung dan tengkuk sang istri.

“Kenapa? Ada yang sakit?” Vin panik ketika melihat Latisya yang menangis.

Latisya mencoba menepis tangan Vin yang terlihat ingin menyentuh kepalanya. “Aku mohon menjauhlah, Vin!” tolak Latisya yang sama sekali tidak ingin didekati oleh Vin.

“Kamu baik-baik saja?”

“Kamu ini pakai parfum apa, sih? Kenapa baunya tidak enak sama sekali?”

Mendengar kalimat yang diutarakan oleh Latisya membuat Vin reflek  mengangkat bahunya, mencoba mencium aroma dari tubuhnya sendiri. “Aku tidak memakai parfum apa-apa. Ini hanya pewangi pakaian.” Nyatanya memang dia jarang sekali memakai parfum.

“Kalau begitu buang saja pewangi pakaiannya!” ketus Latisya masih dengan muka masam.

“Lalu, kalau aku berkeringat bagaimana?”

“Aku tidak peduli!” Masih terduduk di lantai. Tubuhnya masih sedikit lemas.
Membayangkan bagaimana dirinya tanpa parfum pewangi pakaian membuat Vin meringis. Sudah dibilang kalau dia itu tipe orang yang mengeluarkan banyak keringat, dia tidak bisa lepas dari pewangi.

“Kamu lebih harum kalau tidak memakai apa pun. Cukup sabun mandi saja. Aku lebih suka itu.”

Setelah berujar demikian, Latisya segera berdiri dan bergegas pergi ke kamarnya. Terlihat kesal sekali, Vin jadi merasa bersalah dan segera melepas kaosnya untuk dia masukkan ke dalam mesin cuci yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.

Vin berniat untuk masuk ke kamar dan segera memakai bajunya yang lain. Sepertinya nanti dia harus mencuci semua bajunya yang ada di lemarinya lagi. Namun, saat membuka pintu dia mendapati sang istri tengah duduk di atas ranjang dengan memeluk kedua lututnya sendiri. Terdengar isakan kecil. Sampai sebegitunyakah tidak menyukai bau dari bajunya?

Vin segera masuk dan duduk berlutut tepat di hadapan Latisya. Ingatkan! Dia sekarang masih bertelanjang dada.  “Aku minta maaf. Nanti aku akan cuci ulang semua bajuku lagi. Aku tidak akan memakai parfum atau pewangi apa pun.”

Rasa bersalahnya semakin besar saja. Sudah membuat anak orang hamil, dibenci ibunya sendiri, kehilangan pacarnya dan sekarang harus merasakan susahnya hamil.

“Aku lelah, Vin. Setiap kali makan selalu saja keluar lagi. Aku juga lapar. Aku ingin makan banyak, aku ingin makan ini dan itu, tapi kenapa terus seperti ini?” Masih dengan posisi yang sama, dia malu harus menampakkan wajah kacaunya di hadapan Vin.

“Ssshh ... jangan seperti itu.” Vin mengusap pucuk kepala istrinya pelan. “Itu hal yang wajar, kan. Nanti juga akan hilang dengan sendiri mualnya. Jangan menangis, nanti ‘dia’ juga ikut sedih. Ingat! Sekarang apa pun yang kamu rasakan ‘dia’ juga ikut merasakannya.” Vin kembali ingat bagaimana pesan ibunya beberapa hari yang lalu.

“Ibu hamil tidak boleh sedih, apalagi stres. Apa pun yang Latisya rasakan, itu juga akan dirasakan oleh bayinya. Kalau ibunya sering mengalami perasaan buruk, tu akan berpengaruh juga dengan pertumbuhannya nanti kalau sudah lahir. Dia bisa susah diatur. Jadi, kamu haruus menurunkan egomu, Vin. Pahami istrimu baik-baik, apalagi dengan kondisi yang seperti ini. Sebagai suami, kamu harus bisa mengalah dan menahan emosimu.”

Semakin ke sini, Latisya baru menyadari banyak hal yang tidak dia ketahui tentang kehamilan; bagaimana pola makannya, bagaimana gaya hidupnya. Mungkin mulai hari ini dia harus belajar lebih banyak lagi.

Mungkin karena reflek tidak suka melihat seorang wanita menangis, tangan Vin meraih tubuh Latisya, memeluk pelan untuk memberikan sebuah ketenangan. Beberapa kali tangannya juga mengusap punggung wanita itu.

Jujur, bau feromon yang menguar dari tubuh Vin adalah satu-satunya bau yang Latisya sukai, itulah kenapa dia tidak ingin laki-laki itu memakai parfum atau pewangi apa pun agar tidak menutupi wangi alaminya. Mungkin sebenarnya itu adalah keinginan bayinya, bukan asli dirinya yang ingin.

**

“Semua datanya tolong nanti beritahukan padaku. Semuanya, tanpa terkecuali.”

“Untuk apa?”

“Hanya tinggal serahkan saja.”

“Kamu tahu, kan? Itu melanggar kode etik kedokteran?”

“Hubungan kita juga melanggar kode etik berumah tangga, Sayang. Kamu lupa?”

“Baiklah ... aku harap kamu tidak macam-macam dan membahayakan profesiku.”

To be continue ....

Vin [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang