..27..

22 12 2
                                    

Happy reading🦄
Hope you guys enjoy my story
and feel free to share your opinion in the comments^-^

Cara Ayah menunjukan kasihnya
pada anaknya, berbeda dengan
cara Ibu yang terang-terangan.
Mereka menunjukkannya dalam
kesan seolah dingin dan jauh,
meskipun sebenarnya mereka
selalu dekat.

"M-maaf.. "

Ketenangan itu langsung sirna. Laki-laki itu hanya dapat berlutut dengan kepala tertunduk. Tetes demi tetes airmata kembali luruh. Diikuti suara guntur yang memekakkan telinga, namun seolah laki-laki itu tuli akan keadaan sekitarnya.

"Maafin gue.. g-gue, gue minta maaf," ujarnya dengan suara gemetar.

"Ini semua salah gue. Seharusnya gue– gue bisa hentiin lo waktu itu. I-ini semua salah gue, Gi."

Hujan perlahan-lahan ikut luruh dari awan hitam yang menggumpal di langit di atas. Membuat keadaan sekitar mulai menjadi basah dan dingin. Pohon tinggi besar yang berada di dekatnya tak dapat menahan butiran-butiran air yang jatuh tanpa henti. Baju kemeja putih laki-laki itu langsung basah. Namun tetes-tetes deras yang tadi jatuh di atas punggung laki-laki itu langsung menghilang. Diatasnya terulur sebuah tangan putih mulus dengan kuku jari berwarna merah tengah memegang payung hitam.

"Kamu udah berjam-jam di sini, Ya. Ayo kita pulang," ucap gadis yang memegang payung hitam untuk menutupi laki-laki tadi. Tangan kirinya juga memegang payung dengan warna yang sama untuk menutupi dirinya dari deras hujan.

Tak ada sahutan dari laki-laki di bawahnya. Namun ia tahu, bahwa tangisannya masih berlangsung, bahu laki-laki itu bergetar. Dan mungkin akan lama. Rere menghela napasnya pelan. Pandangannya mengarah lurus ke depan, lalu memandang kejauhan dengan tajam.

"Jangan terus-terusan nyakitin diri kamu, Ya. Jangan." Rere berbisik pelan. Pandangannya menatap sendu pada punggung basah laki-laki yang masih tertunduk itu, lalu beralih menatap sendu kearah sebuah batu nisan yang tertempel dengan beton berbentuk persegi panjang yang dilapisi keramik putih. Ada sebuah foto yang tertempel di bawah batu nisan, bersama dengan beberapa buket bunga anyelir berwarna merah dan berwarna putih.

Rere mencoba untuk tak meneteskan kembali air matanya. Ia masih diam sambil menatap kearah lain, membiarkan telinganya saja yang fokus mendengarkan derasnya hujan yang masih mengguyur di sekelilingnya.

Sebuah tepukan Rere rasakan di pundaknya, membuatnya menoleh sesaat kebelakang. Ada Kean dan Violen di sana. Rere dapat melihat keterkejutan di wajah Violen, namun ia tak mau membuat Raya terus tenggelam dalam kesedihannya.

Rere bergeser sesaat, dan mengarahkan agar Violen maju. Violen sendiri masih terkejut dan terpaku melihat seseorang yang selama  beberapa hari ini ia cari tengah duduk berlutut dengan pakaian basah, Violen dapat merasakan kesedihan yang amat mendalam dari laki-laki itu.

Kean menepuk pundak gadis itu, mengangguk pelan agar Violen dapat berani untuk maju. Violen melirik Rere, dan sahabatnya tersenyum pilu. Violen akhirnya perlahan maju, mengambil alih payung hitam yang Rere gunakan untuk menutupi tubuh laki-laki itu dari derasnya hujan.

Violen masih berdiri, tangannya yang sebelah agak gemetar karena masih terkejut. Ia menatap laki-laki itu yang masih menunduk, bahunya terlihat sedikit gemetar. Membuat Violen jadi ingin cepat-cepat memeluknya.

Violen perlahan-lahan berjongkok di samping laki-laki itu, tangannya mencoba untuk membuat agar payung hitamnya masih tetap bisa menutupi tubuh dirinya dan juga laki-laki itu. Tangan Violen terarah pada kepalan tangan laki-laki itu yang terlihat sudah memutih. Rasa dingin langsung menyeruak ke pori-pori tangannya saat kulit mereka bersentuhan.

ViolenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang