Happy reading🦄
Hope you guys enjoy my story
and feel free to share your opinion in the comments^-^Waktu yang digunakan setiap sama kamu, rasanya terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.
—"Makasih ya kak."
Violen melepas seatbelt, lalu menoleh kearah seseorang yang duduk di sampingnya. Tyan mengangguk sambil tersenyum. "Iya sama-sama."
Violen pun keluar dari mobil milik Tyan dan menunggu hingga mobil itu melaju kembali di jalanan depan rumahnya. Violen menghela napasnya pelan. Kembali memeriksa handphone yang tak menunjukan tanda-tanda kedatangan pesan ataupun panggilan dari seseorang yang ia inginkan.
Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya. Menelisik keadaan rumahnya yang terbilang cukup sepi, hanya terlihat bibi yang berlalu lalang dari ruang keluarga menuju ke bagian belakang rumah. Violen hanya menyapa bibi tanpa menanyakan apapun, ia pun naik menuju ke kamarnya. Dan mulai membersihkan diri.
"Kakak sama Ayah belum pulang bi?" Violen bertanya pada Bibi yang kebetulan baru keluar dari arah ruang makan. Gadis itu sudah berganti pakaian dan selesai mandi, sekarang dirinya tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.
Bibi menggeleng sambil tersenyum lembut. "Belum nona."
Violen mengangguk mengerti. Bibi kembali melanjutkan, "Nona mau dimasakin apa malam ini?"
Pertanyaan dari bibi membuat Violen berpikir sebentar, namun sesaat kemudian ia hanya menggeleng. "Apa aja bi, yang penting enak."
Bibi tersenyum. "Baik. Bibi permisi ke belakang dulu, nona."
"Iya bi."
Violen kembali menatap datar ke arah layar tv. Tak ada yang membuatnya tertarik, bahkan drama korea yang tengah tayang dan akhir-akhir ini sering ia tonton pun sama sekali tak membuatnya tergugah. Ada yang membuat dirinya terus-terusan berpikir. Dan rasanya lelah jika ia harus terus berpikir dan tanpa ada jawaban yang pasti.
Bunyi telfon dari kanannya membuat fokusnya beralih cepat. Senyumnya sudah sumringah. Saat ia melihat bahwa Ayahnya lah yang menelfon, ada sedikit kekecewaan yang muncul dari tatapan matanya. Namun gadis itu tetap mencoba untuk terlihat senang.
"Halo Ayah."
Mereka mengobrol selama beberapa saat, lalu sambungan telepon pun terputus. Ayahnya hanya mengabarkan bahwa dirinya kemungkinan tak bisa pulang malam itu, dan menyuruh Violen juga Vano makan malam berdua saja.
Namun Violen juga sudah memberitahu bahwa sang kakak sampai sekarang belum pulang, padahal jam di dinding sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Ayahnya nanti yang akan menelfon Vano, kata Ayah.
Violen menaruh handphone di meja di depannya. Tatapan datar dan helaan napas terdengar sesaat kemudian. Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa putih yang diduduki, memperhatikan langit-langit dengan tatapan menerawang. Beberapa detik berlalu, deringan telepon kembali terdengar. Violen dengan sikap yang sedikit ogah-ogahan dan malas mengambil handphonenya.
"Halo Ayah." Tanpa melihat siapa yang menelfon, ia langsung menyapa. Seolah seseorang yang diseberang memang benar sang Ayah, seperti yang terpikirkan di otaknya. Namun, selama beberapa saat tak ada sapaan balasan yang seharusnya terdengar.
"A–"
"Berarti aku harus manggil kamu bunda dong?"
Mata Violen langsung melotot saat mendengar suara yang menyapa indra pendengarannya. Gadis itu jadi diam terpaku, dan dengan gugup melihat nama penelfon yang tadi tak sempat ia perhatikan. "K-kok malah jadi kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Violen
Teen FictionMencintai seseorang itu hal terindah dan ajaib yang pernah ia rasakan. Rasa aneh yang tak pernah ia rasakan, disaat orang yang sangat ia sayangi membencinya. Rasa aneh yang entah mengapa selalu bisa membuat ia tersenyum dan berdebar-debar tak karuan...