..21..

48 36 20
                                    

⭐Happy reading :)
🐧jangan lupa tuk tinggalkan jejak ;)
❤and feel free to share your opinion in the comments ^-^

Ego selalu dapat mengalahkan rasa bersalah dan menghancurkan segala hal yang kita pikir tak akan pernah bisa di hancurkan.

Olen mengucapkan terimakasih pada akang ojol yang mengantarnya sampai di depan rumah. Gadis itu pun berbalik dan membunyikan bel rumahnya. Sesaat kemudian pintu pagar terbuka dan Vano langsung melambaikan tangannya pada Olen.

"Naik apa tadi?"

"Ojol," jawab Olen. Vano manggut-manggut. Keduanya sama-sama berjalan masuk ke dalam rumah.

"Mandi, ganti baju, terus ke bawah ya dek," ucap Vano, "kita makan bareng."

Olen mengangguk. Sang kakak pun pergi meninggalkannya menuju ke arah ruang makan, Olen sendiri sudah berjalan naik ke lantai atas. Saat sampai di dalam kamarnya, ia masih memilih untuk duduk di tepi tempat tidurnya.

Matanya tertuju pada lampu kelap-kelip yang terpasang di dekat tv. Tiba-tiba saja ingatannya terlempar ke kejadian tadi siang. Ia masih mengingat tatapan lembut iris mata hijau yang menatapnya lamat-lamat dan senyuman kecil yang muncul di sudut bibir Raya.

Olen menggeleng kuat. Mencoba untuk mengenyahkan ingatan yang malah membuat dirinya jadi tersenyum sendiri. Jantungnya juga kenapa malah deg-degan, padahal ia hanya sedang mengingat wajah Raya yang terlihat lebih tampan ketika Olen memikirkannya lagi.

Olen kembali menggeleng. Ia bahkan sesekali menampar pipinya agar ingatan itu tak kembali lagi. Gadis itu berdiri dan berbalik menuju ke dalam kamar mandi. Sesaat kemudian bunyi air mulai terdengar. Butuh waktu beberapa menit sampai Olen akhirnya keluar dengan kimono coklat yang membalut tubuhnya dan rambut karamelnya yang terikat

Ia mengambil pakaian dari dalam lemari, lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi. Olen keluar dengan baju biru kebesaran dan celana pendek berwarna putih.

Ia menyempatkan dirinya menuju ke meja belajarnya dan mulai memeriksa handphonenya. Melihat tak ada hal yang menarik perhatiannya, Olen pun kembali menaruh handphonenya dan berjalan keluar dari kamarnya.

Ia tersentak kaget saat melihat kakaknya malah sudah berdiri di depan pintunya. Vano bahkan hampir saja mengetuk pintu alih-alih jidat Olen jika laki-laki itu tak mengalihkan pandangannya dari hpnya. Vano nyengir, kemudian berkata, "Ayo dek, kita makan dulu."

Olen mengangguk dan berjalan mengikuti kakaknya. Saat sampai di ruang makan, keadaan masih kosong. Yang ada hanya makanan sudah tersedia di atas meja. Olen memilih untuk duduk berhadapan dengan sang kakak di sisi meja yang lain. Keduanya mengapit kursi kepala di sebelah kanan Olen.

Olen sudah akan bersiap untuk berdoa, namun Vano menghentikannya. "Kita tunggu Ayah dulu dek," kata Vano dengan senyuman lembutnya. Olen terdiam membeku saat mendengar bahwa Ayahnya juga akan ikut makan bersama mereka. Gadis itu pikir pria itu tak ada di rumah sekarang, karena ia juga tak melihat mobil Ayahnya terparkir di parkiran luar.

Melihat Vano yang masih memperhatikannya, Olen akhirnya mengangguk ragu sambil berusaha untuk tersenyum kecil meskipun ia mulai merasa gugup dan gelisah. Ingatannya kembali ke kejadian beberapa hari lalu saat Ayah membentaknya untuk keluar dari ruangan yang dijadikan tempat rawat Bundanya yang berada di di lantai dua.

Gadis itu menelan salivanya pelan. Ia makin gugup, apalagi sekarang ia tak duduk di samping kakaknya seperti biasa. Ia mau berpindah juga tapi tak bisa, kakinya terasa lemas karena terlalu gugup. Olen jadi meremas tangannya untuk menghilangkan sedikit rasa gusar di hatinya. Mereka menunggu beberapa saat namun Ayahnya belum juga datang.

ViolenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang