Prolog

148 60 52
                                    

"M-maaf.. "

"Maafin gue.. g-gue, gue minta maaf..."

"Ini semua salah gue."

"Tolong kembali. Gue mohon."

Ketenangan itu langsung sirna. Laki-laki itu hanya dapat berlutut dengan kepala tertunduk. Tetes demi tetes airmata kembali luruh. Diikuti suara guntur yang memekakkan telinga, namun seolah laki-laki itu tuli akan keadaan sekitarnya.

Hujan perlahan-lahan ikut luruh dari awan hitam yang menggumpal di langit di atas. Membuat keadaan sekitar mulai menjadi basah dan dingin. Pohon tinggi besar yang berada di dekatnya tak dapat menahan butiran-butiran air yang jatuh tanpa henti. Baju kemeja putih laki-laki itu langsung basah. Namun tetes-tetes deras yang tadi jatuh di atas punggung laki-laki itu langsung menghilang. Diatasnya terulur sebuah tangan putih mulus dengan kuku jari berwarna merah tengah memegang payung hitam.

"Kamu udah berjam-jam di sini, Ya. Ayo kita pulang," ucap gadis yang memegang payung hitam untuk menutupi laki-laki tadi. Tangan kirinya juga memegang payung dengan warna yang sama untuk menutupi dirinya dari deras hujan.

Tak ada sahutan dari laki-laki di bawahnya. Namun ia tahu, bahwa tangisannya masih berlangsung, bahu laki-laki itu bergetar. Dan mungkin akan lama. Gadis itu menghela napasnya pelan. Pandangannya mengarah lurus ke depan, lalu memandang kejauhan dengan tajam.

"Jangan terus-terusan nyakitin diri kamu, Ya. Jangan." Ia berbisik pelan. Pandangannya menatap sendu pada punggung basah laki-laki yang masih tertunduk itu, lalu beralih menatap sendu kearah sebuah batu nisan yang tertempel dengan beton berbentuk persegi panjang yang dilapisi keramik putih. Ada sebuah foto yang tertempel di bawah batu nisan, bersama dengan beberapa buket bunga anyelir berwarna merah dan berwarna putih.

Setelahnya hanya terdengar suara hujan yang jatuh ke bumi. Dan keterdiaman gadis itu disamping laki-laki berkemeja putih yang masih berlutut dan menangis dalam diam.

//🤍//

ViolenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang