Stalker's Possession

972 76 9
                                    

"Hmm....aneh," komen Hinata sesaat setelah ia masuk kedalam rumahnya. Ia masuk kedalam ruang tengah, mempehatikan sekeliling. Perabotan nya masih tertata rapi, persis seperti sebelum ia keluar rumah.

Namun masih ada yang membuatnya ragu. Walau tak beralasan ia merasa ada kemungkinan rumahnya barusan di bobol. Dia bukan orang kaya tapi tak ada salahnya untuk berjaga-jaga. Seluruh uangnya ada di bank dan di dalam rumahnya tidak ada barang yang terlalu berharga. Satu-satunya barang berharganya adalah dombetnya yang selalu di bawanya pergi kemana-mana.

"Tapi....kalau yang datang pencuri. Bukannya ini terlalu rapi?" Hinata bertanya pada dirinya sendiri. Ia cukup santai untuk seseorang yang sedang mencurigai adanya kemungkinan rumahnya di datangi oleh maling.

"Kurasa besok aku harus ganti kunci pintu depan," menghelakan nafas pendek. Hinata masuk kedalam kamar dan membuka lemari pakaiannya.

Perasaan janggal yang sebelumnya kembali muncul.

Aneh. Sungguh aneh. Hinata tidak bisa berhenti merasa demikian. Semakin ia mencari tahu, semakin instingnya berkata bahwa dirinya sedang dalam bahaya.

Siapa dan kenapa. Hinata terus bertanya di dalam hati.

"Tsk," mendecih pelan ia langsung merogoh saku celananya dan mengambil ponsel di dalamnya. Dengan kasar ia menekan salah satu nomor kontak temannya.

"Halo Saihara," sapanya pada orang di seberang. "Apa kau ada di rumah? Aku mau ketempatmu sekarang juga," lanjutnya dengan suara terburu-buru.

Tidak jadi mengganti pakaiannya. Hinata keluar dari rumah. Kali ini ia memastikan untuk mengunci pintu apartemennya. Dia tidak pernah lupa mengunci pintu namun dia hanya ingin lebih memastikan pintu tersebut sudah di kunci.

Ia berjalan dengan langkah cepat. Pikirannya lari kemana-mana membuatnya tidak memperhatikan jalan. Tanpa sadar ia menabrak seseorang.

"Ma-maaf!" ucapnya kepada orang itu.

Lelaki yang di tabraknya memberikan senyuman ramah. Dia tinggi dan berkulit albino. Rambutnya panjang dan putih, seputih kulitnya yang pucat. Sepasang mata hijau keabu-abuannya bersinar lembut, Hinata tidak bisa berhenti mengaguminya.

Lelaki itu tidak mengatakan apapun namun dari gestur bersahabatnya, sepertinya dia tidak marah. Setelah itu dia pergi meninggalkan Hinata yang masih tertegun oleh keberadaannya.

"Oh iya....aku harus segera ke tempat Saihara," mengingat kembali tujuannya. Hinata berlari mendekati halte bus. Tak perlu menunggu lama sebuah bus menuju area terdekat rumah temannya berhenti di depannya.

Hinata naik dan duduk di salah satu bangku. Ia menoleh ke arah jendela dan menemukan sosok lelaki sebelumnya sedang berdiri di tengah jarak pandangnya. Mungkin hanya perasaannya, apalagi lelaki itu berdiri terlalu jauh dari bus yang terus melaju di jalanan.

Sama seperti apa yang dirasakannya di dalam rumah. Hinata merasakan adanya kejanggalan dari lelaki tersebut.

"Dia....tersenyum?" gumamnya seraya menyentuh permukaan kaca jendela. Berbeda dengan senyuman ramah sebelumnya, senyuman yang dilihatnya barusan bagaikan sebuah mimpi buruk yang akan menghantuinya seumur hidup.

Setengah jam kemudian. Hinata sudah berdiri di depan pintu sebuah kantor kecil yang sederhana. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu namun sebelum tangannya mendarat, pintu tersebut terbuka duluan.

"Oh kau benar-benar datang Hinata-chan!" Seorang lelaki remaja pendek menyapa Hinata mundur beberapa langkah karena kaget.

"Ouma-kun!" Seorang remaja lelaki lainnya menegur temannya yang bertubuh pendek lalu menariknya untuk menjauh dari pintu. "Maaf Hinata-san," ucapnya sungkan di depan Hinata yang sudah terbiasa akan kelakuan nakal anak bernama Ouma tersebut.

Bitter Sweet MomentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang