05. Bertaruh

226 9 1
                                    

Gue memincing, tak menyangka akan melihat Ayah berada di rumah—tepatnya di ruang makan—pada jam segini. Biasanya gue jarang melihat dia, kecuali pada satu hari.

Dan ya, gue nggak ingat bahwa harinya adalah hari ini.

Setiap satu bulan sekali, Ayah pulang cepat. Katanya, sih, dia mau menghabiskan waktu lebih lama dengan gue.

Bah. Menghabiskan waktu dengan mukulin gue kali ya, maksudnya?

Yah, intinya pada tanggal satu setiap bulan, Ayah bakalan ngontrol nilai-nilai gue. Dia memeriksa semua buku-buku dan kertas-kertas ulangan yang ada di meja belajar gue. Lo semua pasti tahu, kan, endingnya bakal kayak gimana.

"Orion, makan dulu."

Itu Ibu. Dia pasti merasa takut karena Ayah sering—atau bahkan selalu mengancamnya. Alasannya? Nilai gue, akademik gue. Ibu selalu dicap 'nggak pandai mendidik' oleh Ayah, ketika terjadi sedikit pun penurunan di nilai-nilai gue, dan ketika gue melakukan kenakalan-kenakalan kecil seperti membolos les.

"Orion..."

Kini ibu menyusul gue yang duduk di kursi belajar, bersiap menyusun berkas-berkas yang hendak Ayah lihat. Gue nggak melepas jaket tebal yang masih gue pakai, sengaja untuk menjadi perlindungan saat gue dipukuli nanti.

"Ibu tau aku nggak suka basa-basi." Kata gue pelan, menata meja gue supaya sedikit rapi, "dia nggak pernah makan di rumah."

Ibu terbelalak, mungkin kaget karena kata-kata gue sedikit nggak sopan. Dia baru saja hendak membuka mulutnya ketika Ayah melangkah melewati pintu. Gue kontan berdiri, memersilakan Ayah untuk duduk di kursi sedangkan gue berdiri di sampingnya dan Ibu berdiri tak jauh di belakang.

Ayah memulai ritualnya, dengan membuka buku-buku tugas dan catatan gue, lalu beralih kepada kertas-kertas ulangan.

Gue udah nggak takut dan deg-degan lagi. Mati rasa mungkin? Soalnya, mau sekeras apa pun gue usaha, buat Ayah selalu belum cukup.

"Bukannya kamu suka biologi?" Ayah menatap gue sinis, setelah mendapati nilai ulangan biologi gue kemarin yang berada di bawah KKM. Gue memang suka biologi, sangat malah. Namun, apa gue nggak boleh sesekali dapet nilai jelek? Yah, gue nggak sengaja bikin nilai gue jelek, sih. Itu memang hasil murni gue. Materi jaringan tumbuhan dan hewan itu sedikit membuat gue kesulitan. Ralat, sepertinya bukan lagi sedikit, mengingat nilai gue terlampau buruk.

"Bimala dapat sembilan puluh."

Gue menelan ludah. Meskipun gue menjelaskan bahwa Bimala mendapatkan nilai bagusnya itu dengan cara yang kotor hingga mulut gue berbusa, Ayah nggak bakal sudi mendengarkan. Ia pasti selalu punya cara untuk membuat gue terlihat buruk, sehingga gue juga percaya bahwa gue memang buruk. Begitulah gue tumbuh.

"Semester ini, kamu bakalan dikalahin paralel dua."

Ayah menutup buku-buku dan lembaran kertas di meja gue. Ia melonggarkan dasi di lehernya yang sepertinya telah membuatnya sesak sedari tadi.

"Bukan cuma si paralel dua, bahkan Bimala bisa kalahin kamu."

Setelah itu, Ayah tertawa kencang. Teramat kencang hingga membuat bulu kuduk gue merinding. Tertawanya Ayah itu sama sekali nggak lucu. "Sesusah itu, ya?"

AntharesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang