02. Bahagia

389 15 4
                                    

Semua mahluk di kelas gue lagi pusing sekarang. Soalnya, Pak Eno nggak masuk kelas. Kalau lo semua ngira gue dan kawan-kawan bakalan bahagia lahir batin, jawabannya salah besar. Kami nggak bahagia, sumpah. Kami kesel kalo Pak Eno nggak masuk. Tapi, bukan karena kita nggak mau ketinggalan pelajaran. Melainkan karena kita nggak mau ngerjain tugas pengganti yang pasti nggak kira-kira banyaknya. Biasanya, Pak Eno nyuruh nulis rumus yang banyaknya naudzubillah, dan tiap rumus ditulis 100 kali. Gimana nggak keriting, tuh jari. Katanya sih, tujuannya biar kita hapal rumusnya. Tapi, faktanya ya nol besar. Boro-boro hapal, yang ada mah jari keriting saking pegelnya. Alhasil, gue biasa jasa tulis aja ke cewek-cewek yang rajin. Soalnya, kegiatan nulis berulang kayak gitu sama sekali nggak ada gunanya selain ngabisin waktu gue. Kalau urusan menghapal, tinggal gue baca aja beberapa kali. Pasti hapal.

"Ar, soal yang kayak gini tuh, dimisalin dulu nggak, sih?"

"Nah iya tuh, Ar. Dari tadi gue nggak nemu-nemu yang itu!"

"Sumpah, ya, tau gini sih mending Pak Eno masuk aja."

"Ar, cepet bantuin."

Gue menelan ludah, takut. Perlahan gue membaca soal yang temen-temen gue tanyain. Sial, gue kebayang sih cara nyelesainnya. Masalahnya, kayak ada yang nggak pas. Benar saja, saat gue menghitungnya di buku dan ditemani tatapan berharap dari nyaris semua teman sekelas gue, yang berhasil gue temukan adalah jalan buntu. Jawaban hasil hitungan gue nggak ada di pilihan.

"Loh, kok nggak ada isinya, Ar?"

"Orang kayak lo masih bisa salah ngitung? Serius?"

Gue menggigit bibir, merasa terintimidasi. Memutar otakk, akhirnya sebuah alasan mendadak muncul di kepala gue. "Nggak fokus nih, gue ke toilet dulu, ya."

Sekilas, gue lihat ekspresi mereka semua seperti memaklumi, membuat gue akhirnya bisa menarik napas lega. Syukurlah. Dengan langkah terburu-buru, gue memasuki toilet, lalu menelepon seseorang dari dalam sana.

"Bu, Archie minta tolong."

"Archie, maaf, Ibu lagi ada kerjaan---"

"Sekarang."

Yang gue dengar kini cuma tarikan napas putus asa. Gue tahu, kalau gue ini sudah terlalu sering merepotkan Bu Ayu, guru les privat matematika yang seminggu tiga kali dateng ke rumah.

"Soalnya udah dikirim?"

"Udah."

"Tungguin aja, tiga menit."

Setelah itu, gue mematikan sambungan, tapi masih tetap diam di toilet tanpa melakukan apapun. Untungnya, Bu Ayu benar-benar mengirimkan jawabannya tepat tiga menit kemudian.

"SHIT!" Gue mengumpat, saat membaca jawaban dari Bu Ayu yang sebenarnya tak beda jauh dari jawaban gue tadi. Yang membedakannya hanyalah gue salah menghitung sedikit, sehingga hasil akhirnya tak sama. Gue benar-benar emosi.

Ketika gue kembali masuk kelas, tiba-tiba Arjuna menunjuk coretan gue tadi. "Harusnya -3, Ar. Bukan 3. Jawabannya ada di opsi, kok."

Karena ucapan Juna tadi, sekelas langsung heboh. Mereka secara terang-terangan ngomongin gue yang nggak teliti dalam menghitung. Gue Cuma bisa mengepalkan tangan, geram. Apalagi, pas Geri malah tambah manas-manasin suasana dan bikin gue tambah emosi. Well, gue tau dia maksudnya bercanda. But that's not funny, at all. Kita bahkan nggak dekat. Yah, gimana gue bisa dekat sama murid yang kerjaannya tidur dan makanin nasi uduk di kelas? Sama sekali nggak membawa pengaruh positif buat gue.

"Tumben nih Ar lo ada salah ngitung, apa kemampuan lo emang nggak se-wah itu, ya?"

Hampir saja gue melempar ransel besar Arjuna tepat ke mukanya kalau aja seseorang nggak membuka mulut. Bukan, itu bukan Arjuna atau Angkasa. Tapi Nazza.

"Yaudah si emang kenapa kalo Archie salah ngitung? Dia juga manusia, kali. Kalo lo nggak mau yang salah ya sana tanya kalkulator atau photomath."

Gue terkesan.

"EH KOK LO NGEGAS SI ANJING?! INI URUSAN GUE SAMA ARCHIE, YA. NGAPAIN LO NGIKUT?"

"Nggak tau sih kenapa. Tapi, mulut lo itu kalo nggak diberhentiin, makin lama makin kayak sampah. Capek gue dengerinnya."

"SEKELAS INI JUGA NGGAK ADA YANG PROTES, BANGSAT. APAAN BANGET SIH LO? JANGAN MENTANG-MENTANG CEWEK YA LO, DIKIRA GUE TAKUT MUKUL CEWEK?"

"Udah, Ger. Yang Nazza bilang ada benernya, kok. Daripada lo ngebangsat-bangsatin si Nazza mending lo introspeksi aja, deh." Kata Angkasa, menarik Nazza yang tadinya berhadapan dengan Geri jadi berlindung di belakang tubuh gue.

Merasa kalah, akhirnya Geri keluar. Gue nggak ngerti tuh anak lagi ada masalah apa sampe-sampe ngancem mau mukul cewek. Tapi, gue jadi nggak enak sendiri karena yang jadi bibit masalahnya itu nggak lain adalah gue sendiri. Karena itu, gue berniat meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada Nazza. Namun, gue nggak menemukan cewek itu di belakang gue lagi. Saat gue mengalihkan pandang ke jendela, ternyata Nazza lagi berhadapan sama...

"Anthares?"

Sadar kalau gue lagi memperhatikan dua manusia yang lagi ngobrol asik sambil sesekali ketawa, Angkasa menimpali, "yoi, Ar. Akhir-akhir ini gue sering liat mereka bareng."

"Mereka..."

"Cocok, lah. Gue berharap sih, Nazza bisa sabar ngadepin Ares. Lo semua kan tau tu anak nggak pernah ngurusin cewek dari dulu." Kata Angkasa.

"Tapi, Nazza juga nggak pernah pacaran."

Angkasa langsung menatap Arjuna dengan penuh tanda tanya, "tau dari mana lo, Jun?"

Arjuna diem, kayaknya sih lagi mikir keras. Gue bisa lihat urat-urat di keningnya muncul, mirip sama Hinata kalau byakugannya lagi aktif.

Belum sampai semenit, cewek itu---maksud gue Nazza, tiba-tiba ngibrit lari ke kelas. Mukanya panik banget, kayak abis liat kunti.

"WOI WOI ADA APA NAZZ?" Angkasa melotot heran, tapi tetap bergegas kembali duduk di tempatnya.

"Ada Pak Eno, anjir."

Sekelas langsung menarik napas dalam-dalam. Ternyata, Pak Eno nggak masuk kelas itu emang cuma harapan doing. Tapi, kalo emang mau masuk kelas, kenapa nggak dari tadi aja, Pak?!

Kemudian, Pak Eno mengeluarkan tumpukan kertas, yang kami semua yakini adalah hasil dari ulangan tentang limit kemarin. Gue cemas. Rasanya gue sudah bisa menduga kalau ada jawaban gue yang salah. Benar saja, gue ternyata salah tiga nomor, membuat gue langsung pengen robek kertasnya saat itu juga, kalau saja Angkasa nggak sibuk memamerkannya ke seluruh penghuni kelas.

"Shai! Nilai gue pas kkm, gila!" Nazza tersenyum lebar, menunjukkan hasil ulangannya pad Shaina, temen sebangkunya.

"Wah parah, gue aja remed. Lo nggak solid, ah!"

Nazza ketawa, dia memeluk Shaina sambil menepuki pundaknya dengan keras. "Nanti mau main rumah gue, nggak? Nenek pasti masakin makanan enak nih."

Shaina menjawab dengan antusias, "boleh!"

Gue iri sama Nazza yang bisa sebahagia itu padahal nilainya pas kkm. Kadang gue merasa nggak bersyukur karena hal kayak gini, tapi ya gimana. Orang tua gue punya standar ang jauh berbeda. Nilai gue tetap yang terbaik, tapi itu sama sekali nggak membantu. Papa sama mama nggak memberikan toleransi. Batas maksimal kesalahan gue adalah satu soal, itupun gue masih mendapat tatapa sinis papa. Lalu, sekarang gue mengacaukan tiga nomor. Rasanya nggak mungkin kalau besok gue nggak jadi daging cincang. Kesalahan gue terlalu berat soalnya. Entahlah. 

***

hiiiii everyone, sorry for being inactive for a long time:( HAPPY NEW YEAR anyway!!

AntharesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang