KEVANO - 50

37.6K 9.8K 5.6K
                                    

“... Thank you for watching and see you in the next video.” Vano melambaikan tangan dengan menampilkan wajah ceria. Setelah kameranya sudah dimatikan Ardian, senyum Vano yang tadi lebar langsung menghilang. Wajahnya kembali datar. Raut ceria yang dia tampilkan itu tadi hanya untuk kebutuhan konten saja.

Sebenarnya Vano tidak sebahagia yang terlihat. Dia bisa tersenyum di depan kamera, tapi di belakang kamera dia murung. Apalagi jika memikirkan permasalahan yang sedang dia hadapi. Dia bersikap biasa-biasa saja karena dia tidak ingin orang lain tahu kesedihannya. Vano hanya ingin menunjukkan pada dunia jika dia bahagia.

“Nggak enak juga ya liburan sambil ngevlog,” keluh Ardian dengan meregangkan tangannya yang terasa kebas setelah memegangi kamera cukup lama.

“Itu, sih, menurut lo! Kalau menurut gue enak-enak aja. Duit tetap ngalir walaupun lagi liburan.” Vano tersenyum sombong.

Ardian mendengus sebal. “Ya lo enak tinggal ngomong depan kamera. Nah, gue harus megangin kamera ke sana ke mari. Kapan gue ngerasain liburannya kalau kayak gini?”

Vano tertawa meledek. “Kan lo gue ajak emang buat kayak gitu.”

Ardian berdecak kesal. Dia berbalik menghadap ke pantai yang berjarak beberapa langkah di depannya.

“Ardian pengin kaya, Ya Allah, biar nggak diperbudak Vano lagi,” doanya dengan menatap langit.

Vano memutar bola matanya jengah melihat kelakuan Ardian. Ucapan Ardian itu seolah dia sangat tersiksa bekerja dengan Vano padahal seingat Vano dia tidak begitu kejam pada Ardian. Hanya semena-mena sedikit.

“Doa tuh di atas sajadah, hadapnya ke kiblat. Dan yang paling manjur, doanya habis shalat. Nah, lo aja sholatnya dua kali dalam setahun.”

Suara Vano yang keras membuat Ardian panik. Dia melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar salah satu fakta buruk tentang dirinya. Jangan sampai orang-orang tahu jika Ardian hanya shalat saat Idul Fitri dan Idul Adha saja.

“Lo kalau ngomong kayak gitu jangan keras-keras dong! Nanti ada yang dengar.”

“Kalaupun dengar juga mereka nggak ngerti. Mereka kan bule.”

“Bukan mereka yang gue maksud, tapi penyu itu. Dia pasti lagi ngetawain gue,” tunjuk Ardian pada penyu kecil yang lewat di depan mereka.

Vano geleng-geleng kepala tidak habis pikir. “Gila, Yan, lo sama penyu aja suudzon.”

“Bukan gitu. Takutnya dia bilang ke teman-temannya. Bisa-bisa gue diketawain satu tongkrongan penyu.”

Mengabaikan Ardian yang masih suudzon pada penyu, Vano pergi begitu saja tanpa mengajaknya. Dia kembali menuju restoran tempat mereka makan malam tadi. Ardian yang melihat Vano berjalan menjauh pun menyusulnya dengan berlari. Dia takut diculik Ratu Pantai jika sendirian di pantai malam-malam begini.

“Eh, yang lain ke mana, ya?” gumam Vano saat sudah sampai restoran dan hanya melihat Bakti dan Yulia saja yang sedang berbincang dengan temannya.

Selain liburan, Bakti juga ke Bali untuk bertemu teman lamanya. Jadi, tidak heran jika dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan temannya dari pada dengan anak-anaknya.

Ardian mengedarkan pandangan, mencoba membantu Vano mencari Keyla dan yang lainnya.

“Keyla sama Galih di sana, tapi gue nggak tahu di mana Keysha,” tunjuk Ardian pada dua orang yang sedang duduk di pasir dengan menghadap pantai.

“Wah kampret si Gulali malah nyari kesempatan,” umpat Vano saat melihat Galih melepas kemeja yang melapisi kaosnya lalu menyampirkannya di bahu Keyla.

KEVANO [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang