Dia mengubah nasib dengan jarinya yang senantiasa menari-nari di atas tuts hitam putih yang berjejer rapi.
Ari selalu percaya bahwa semua manusia diciptakan dengan bakat unik masing-masing. Sayangnya, tidak semua seperti dirinya yang bisa bertemu media yang tepat dan berkesempatan mengembangkan bakat tersebut.
Bagi Ari, piano adalah hidupnya dan dia yakin hal tersebut tidak akan berubah sampai kapan pun. Seandainya tidak dipertemukan dengan benda itu, dia pasti sudah dibuang entah sejak kapan.
Bukankah dia sangat beruntung?
"Eh? Ternyata kamu?"
Suara barusan membuat kedua tangannya bergeming di udara, menghentikan Nocturne Op. 9 No. 2 yang sejak beberapa saat lalu masih mengalun memenuhi ruangan.
Di ambang pintu ruang musik, tampak seorang laki-laki berambut cepak tengah melongokkan kepala. Tangan kanannya memegang ponsel, dengan posisi kamera yang diarahkan ke tengah-tengah ruangan.
"Aku lagi di koridor barat waktu dengar suara piano dari arah sini." Tanpa dipersilahkan, cowok itu melangkah masuk dan berdiri di samping Ari. "Kirain gosip tentang hantu ruang musik itu benar." Dia mengembuskan napas berat.
"Kenapa malah kecewa begitu?" Ari tidak habis pikir dengan temannya yang satu itu. Orang normal akan merasa lega saat tahu tidak ada hantu di sana, tapi Rama justru bereaksi sebaliknya.
"Padahal sudah siap-siap." Rama menunjukkan ponselnya sekilas. Sesuai dugaan Ari, kameranya memang menyala. "Kan keren kalau bisa dapat foto hantu ruang musik."
"Nggak ada hantu di sini." Ari menjawab enteng. Dia adalah pengunjung tetap ruangan tersebut dan sejauh ini memang tidak ada kejadian aneh. "Aku baru tahu kalau kamu percaya begituan?"
"Ah, itu ...." Rama mengusap tengkuk, tampak salah tingkah.
"Taruhan sama Anindya lagi, ya? Dasar kurang kerjaan."
Ari sudah tidak heran lagi dengan kelakuan sepasang rival legendarisnya SMA Arthawidya. Keduanya akan dengan sukarela bersaing dalam hal apa saja. Seantero sekolah juga sudah tahu.
"Ngapain di sini pas libur? Latihan buat kompetisi?"
"Bukan." Ari memperbaiki posisi kacamatanya yang agak miring dan kembali memutar tubuh menghadap piano. "Suntuk banget di panti."
Apalagi dengan para orang dewasa penuh tuntutan yang ada di sana. Ari tidak sabar ingin segera lulus SMA, kuliah sejauh mungkin, dan membebaskan diri dari tempat itu selamanya. Walau sebenarnya dia ragu mereka akan melepaskannya semudah itu.
"Begitu."
Setelah menggumamkan satu kata itu, Rama tidak lagi bersuara dan Ari kembali menggerakkan jemarinya di atas tuts untuk memainkan nada-nada acak.
"Kamu sendiri?" tanyanya tanpa menghentikan permainan. "Ngapain di sekolah?"
"Rapat OSIS."
"Rajin banget," sindirnya.
"Nggak ada salahnya. Lagian libur semester ini aku tetap di asrama, nggak ke mana-mana." Rama berpindah ke bagian sudut dan duduk di salah satu bangku kosong yang ada di sana. "Malas di rumah."
"Masih dikerubungi wartawan?"
"Always." Rama tergelak. "Makanya lebih enak di sini. Ngomong-ngomong, kamu suka cokelat?"
"Hah?" Untuk yang kedua kalinya, Ari menjauhkan tangannya dari piano.
"Tadi anak-anak cewek OSIS heboh ngomongin pianis Arinaldo yang jenius bin misterius yang ternyata lagi ketagihan sama cokelat." Tawa Rama semakin keras. "Valentine nanti jangan lupa bawa tas ekstra. Kayaknya kamu bakalan panen banyak."
"Aku? Suka cokelat?" Ari menunjuk dirinya sendiri dan mengernyit bingung, tidak paham sedikit pun dengan berita itu. Sejak kapan itu jadi makanan kesukaannya?
"Katanya sih info dari Listi."
"Listiana dari klub jurnalistik?" Gadis itu memang mewawancarainya beberapa hari lalu. Untuk mengisi rubrik 'Tokoh Sekolah' dalam majalah edisi bulan depan, katanya. Pembicaraan mereka harusnya cuma berkisar antara kompetisi-kompetisi yang Ari menangkan di semester sebelumnya. "Dia memang sempat menanyakan makanan favorit dan aku menolak menjawab." Ari berusaha mengingat-ingat sesi wawancara singkat itu. "Lalu dia mulai menyebutkan berbagai makanan dan ... entahlah, kupikir dia akan diam kalau aku mengangguk di salah satu nama makanan."
Saat itulah Ari sadar kalau dia baru saja menggali lubang kubur sendiri.
"It's okay!" Rama beranjak dari bangku dan menepuk pundaknya cukup keras. "Tenang. Nanti bakalan banyak kaum fakir asmara yang siap menampung cokelat-cokelatmu."
Ari meringis. Tidak, bukan itu yang dia khawatirkan. Membayangkan dirinya harus kontak dekat dengan berbagai orang dalam satu hari saja sudah terasa begitu horor.
"Ah, aman." Teringat sesuatu, Ari bertepuk tangan sekali. "Tanggal 14 kan hari minggu."
"Cewek-cewek itu bilang akan melancarkan aksi pas tanggal 15." Rama mematahkan kelegaannya dalam waktu singkat.
"Aku ... mending izin sakit saja pas tanggal 15."
"Mereka akan menyusulmu ke asrama dengan alasan pengin menjenguk."
Ari memberikan lirikan tajam.
"Ram, bisa diam, nggak?"
Semua ketenaran ini hanyalah imbas dari nasibnya yang berubah berkat piano. Gelembung ringkih yang bisa pecah kapan saja. Bisa hilang dalam semalam dan setelah itu dia tidak akan ada artinya di mata orang-orang.
Tidak seharusnya Ari terlena karena hal ini, bukan?
***
Tema 2:
"Buat karya yang diawali dengan kata-kata, 'Dia mengubah nasib dengan jarinya ....'."***
Yeay, tema hari kedua masih bisa disambungin sama yang kemarin!
Love,
TiaJakarta, 2 Februari 2021
09.19 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] When The New Day Comes
Teen Fiction[Kumpulan Cerpen] #DWCNPC2021 #DWCNPC2022 Every day is a good day. There is something to learn, care, and celebrate. (Amit Ray) ================================= Karya ini diikutsertakan dalam "Daily Writing Challenge" yang diadakan oleh Nusantara P...