Ari hanya diam sepanjang rapat. Tidak berkomentar maupun memberikan pendapat terkait perencanaan festival sekolah. Kepalanya sakit, tenggorokannya terasa perih, dan dia mesti mati-matian meredam batuknya sejak tadi. Dia hanya ingin semua ini cepat berakhir, agar dia bisa kembali ke asrama dan tidur.
Setelah dua jam yang terasa sangat lama, Rama menutup rapat. Ari merapatkan maskernya dan meraih tas. Dia tidak ingin buang-buang waktu untuk segera pulang.
"Eh, Ri? Bareng dong!" Rama meneriakinya.
Ari yang sudah tiba di ambang pintu kembali berbalik dan memperhatikan sahabatnya itu sedang berkemas-kemas. Dia memutuskan untuk bertahan sedikit lagi. Toh, mereka memang menuju ke tempat sama.
"Yuk!" Rama berjalan mendekatinya. "Kita pul--loh, loh, nggak apa-apa? Kayaknya makin lemas aja."
"Bukan 'kayaknya' lagi. Emang lemas banget ini. Ayo jalan." Ari bicara susah payah dengan suaranya yang serak.
"Suaramu menyedihkan banget." Rama berkomentar. "Harusnya nggak usah ikut rapat."
"Mauku juga begitu, tapi mau gimana lagi. Terlanjur bilang iya." Ari terbatuk tiga kali. Seandainya tahu bakalan begini, dia tidak akan mengiyakan sang ketua yang memintanya ikut rapat sebagai perwakilan dari ekskul musik.
"Nanti sampai di kamar mandi dulu. Pakai air hangat kalau perlu. Lalu tidur. Ntar kumasakin air panasnya."
Ari mendengkus. "Apa, sih? Perhatian banget. Sampai-sampai rasanya geli."
Namun, teman sekamarnya itu tidak peduli dan lanjut berceloteh. "Mau kubawain makanan juga, nggak? Atau sekalian aku metik daun sirih di belakang asrama buat bikin obat herbal?"
"Oke. Cukup. Ini menjijikkan."
***
TEMA 15:
Hot springs | The face with medical mask | Herb
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] When The New Day Comes
Teen Fiction[Kumpulan Cerpen] #DWCNPC2021 #DWCNPC2022 Every day is a good day. There is something to learn, care, and celebrate. (Amit Ray) ================================= Karya ini diikutsertakan dalam "Daily Writing Challenge" yang diadakan oleh Nusantara P...