23. Twins [Ari]

20 10 0
                                    

"Mama menyuruhku meneleponmu sesekali."

"Oh ya?" Sebelah sudut bibir Ari terangkat. Dia memindahkan posisi ponsel dari telinga kanan ke telinga kiri dan menerima kumpulan kertas partitur musik yang diulurkan Aisha padanya. "Jadi kalau nggak disuruh kamu nggak bakalan telepon, kan?"

Tidak ada jawaban di seberang telepon dan Ari mengasumsikan itu sebagai jawaban iya.

"Kalau gitu nggak usah repot-repot meneleponku."

Kali ini yang terdengar adalah hembusan napas berat. "Oke. Alright. Jadi gimana kabarmu?"

"Biasa saja," jawab Ari apa adanya. "Kamu?"

"Sama sepertimu." Cowok di telepon menyahut. "Biasa saja."

Dan kemudian hening. Ari tidak tahu harus bicara apa-apa lagi dan sepertinya orang di ujung sana juga merasakan hal yang sama. Dia mulai mengetuk-ketukkan jari di pinggiran tuts piano, mencoba mencari topik. Namun, tidak ada satu pun yang terpikirkan.

"Ngomong-ngomong ... tahun ini kami sekeluarga ada rencana ke Indonesia."

"Oke." Ari membalas dengan nada datar. "Mampirlah ke panti asuhan. Kalau kamu sempat." Dia menambahkan bagian terakhir dengan cepat. Kalimat yang hanya ditujukan untuk basa-basi, karena dia tahu pasti. Orang itu tidak akan melakukannya. Dia sama sekali tidak pernah mampir sejak keluar dari tempat itu 6 tahun yang lalu.

"Iya. Kalau sempat." Suara itu juga terdengar berat. "Kalau begitu teleponnya kututup dulu. Mama memanggilku."

Ari tahu itu bohong, tapi dia memutuskan untuk pura-pura percaya saja. Lagi pula dia juga tidak tahu harus bicara apa lagi.

"Ya. Sampaikan salamku ke semuanya."

"Oke." Dan telepon pun terputus.

Ari mengembuskan napas berat. Akhirnya selesai juga. Hanya pembicaraan singkat, tapi entah kenapa rasanya berat. Menerima telepon dari orang itu tidak pernah terasa mudah dan Ari yakin bukan hanya dia yang berpikiran begitu.

"Siapa?" Aisha menaruh tas biolanya di lantai dan duduk di kursi yang posisinya tidak jauh dari Ari. "Ekspresimu jelek banget."

Ari hanya mengangkat bahu. Dia menyimpan ponselnya di dalam tas dan menaruh kertas yang tadi diberikan Aisha di atas music desk.

"Ardi, ya?" Aisha lanjut bertanya. "Dia apa kabar?"

"Sekarang namanya Aaron, kalau kamu lupa."

Aisha tertawa kecil. "Sekarang dia kayak apa, ya? Masih di Amerika? Sudah lama nggak lihat dia."

"Ya, kamu lihat saja mukaku." Ari membalas sewot. Jarinya mulai bergerak di atas tuts dan memainkan nada acak. Lumayan. Dia mulai merasa sedikit tenang.

"Apa Aaron juga bertampang sewot 24/7 kayak kamu?"

Ari memberi gadis itu tatapan tajam. "Sana tanya sendiri."

"Aku masih ingat banget." Aisha menaruh sebelah tangannya di dagu. Tatapannya agak menerawang dan senyum tipis penuh nostalgia terulas di bibirnya. "Dulu tiap ikut papi ke panti, aku selalu ketemu dua anak laki-laki berwajah sama persis yang ke mana-mana selalu bareng. Dunia udah kayak milik berdua, yang lain cuma figuran. Lalu yang satunya diadopsi dan yang satunya lagi mogok bicara selama nyaris sebulan. Kupikir waktu itu kamu mendadak bisu."

"Kusarankan nona muda ini untuk diam." Ari memandang sekitar ruangan musik dan berucap dingin. "Jangan mengungkit masa lalu. Aku tidak mau cerita ini sampai tersebar."

"Oke. Oke." Aisha mengangkat tangan menyerah. "Jangan marah gitu dong, Ri. Seram, tahu!"

"Aku pernah benar-benar hancur waktu dia dibawa pergi, Sha," ucap Ari nyaris berbisik. "tapi sekarang buatku dia cuma orang asing."

***

TEMA 23:





[End] When The New Day ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang