10. Happiness [Liona]

31 17 1
                                    

Cara Liona untuk memulai pagi dengan bahagia sebenarnya cukup sederhana. Salah duanya yaitu dengan bangun mendahului alarm dan tidak berhadapan dengan arwah-arwah iseng yang menggantung di langit-langit di atas tempat tidurnya. Soalnya bulan lalu Liona pernah terbangun dengan sebuah wajah buruk rupa berada tepat di depan hidungnya dan refleksnya adalah berteriak sejadi-jadinya. Pagi itu dia bersusah payah meyakinkan Azura bahwa dia hanya baru saja mendapat mimpi yang teramat sangat buruk. Setidaknya di pagi yang tenang ini tidak ada yang mengganggunya.

Oh, sebenarnya ada satu yang masih berada di sana. Mbak-mbak bergaun putih yang sedang berdiri di samping tempat tidur Azura. Namun, setidaknya dia tidak mengganggu, karena dia tidak pernah peduli pada hal lain selain Azura.

Dengan santai Liona melewatinya menuju kamar mandi. Hal selanjutnya yang membahagiakan baginya adalah mandi air hangat dan bersiap-siap dengan santai tanpa perlu dikejar waktu. Azura baru bangun ketika dia tengah mengenakan seragam.

"Kamu bangunnya pagi banget," ujar gadis berambut cokelat kepirangan itu sambil menguap sekali. "Jadwal piket?"

Sekarang, begitu Azura bangun, beberapa arwah mulai mendatangi kamar mereka. Beberapa menembus pintu dan dinding, lainnya muncul begitu saja dari balik plafon. Fans-nya Azura. Liona lebih suka menyebutnya begitu, walaupun dia sendiri tidak yakin mereka memang benar-benar fans atau bukan.

"Enggak kok," jawabnya sambil menghadap cermin dan kemudian mengambil tasnya yang ada di meja belajar. "Kebetulan bangun kepagian. Aku duluan, ya."

"Oke. See you later." Azura mengambil handuk dan memasuki kamar mandi.

Liona membuka pintu bersamaan dengan tetangga kamar sebelahnya.

"Pagii!" Sanny menyapanya ceria.

"Pagi," balas Liona. "Siap buat ulangan sejarah?"

Ekspresi Sanny langsung berubah suram. "Enggak. Aku begadang semalaman buat belajar, lalu sekarang angka-angka tahun dan nama-nama legend itu bercampur aduk di kepalaku."

"Semangat, San. Mari hadapi dengan senyuman." Mereka melangkah berdampingkan menuju ruang makan di lantai 1.

"Mungkin cuma kamu satu-satunya orang yang bahagia tiap pelajaran Sejarah."

"Kenapa?" Liona tergelak. "Sejarah seru, kok. Anggap saja kamu lagi baca novel. Bedanya, ini kisah nyata dan latarnya adalah masa lalu."

Sanny mengembuskan napas berat. "I can't relate. Pasrah sajalah."

Senyuman Liona melebar begitu mereka sampai di pintu masuk ruang makan dan mencium aroma soto ayam kesukaannya. Seandainya ditambah dengan perkedel jagung hangat, maka Liona akan benar-benar merasa bahagia.

Ini sungguh hari yang baik.

Ketika dia dan Sanny sedang menyantap sarapan di salah satu meja, seseorang mendadak menaruh nampannya di seberang Liona dan ikut bergabung.

"Oh hai, Vin." Liona menyapa. Kelasnya dan Vini bersebelahan, tapi mereka tidak terlalu akrab. Makanya dia agak heran mendapati gadis itu tiba-tiba bergabung. Padahal di sana masih banyak kursi kosong .

Di belakang gadis berkaca mata itu dia mendapati adanya sosok yang mengikuti. Roh wanita tua dengan rambut putih yang disasak tinggi. Auranya tidak terasa berbahaya dan seolah sadar kalau Liona bisa melihatnya, nenek itu balas menoleh dan tersenyum. Liona membalas dengan anggukan samar dan sedetik kemudian memutuskan untuk mengabaikannya.

"Liona, kamu sekamar sama Azura, kan?" tanya Vini.

Liona mengangguk. "Memangnya kenapa?"  Bukannya Vini dan Azura berada di kelas yang sama? Jangan-jangan ada masalah.

"Itu ...." Vini tampak ragu-ragu. "... apa dia baik-baik saja? Maksudku, belakangan ini tidak ada kejadian buruk yang menimpanya, kan?"

"Kayaknya nggak ada, deh." Azura kadang memang terkesan misterius, tapi selain banyaknya 'fans' tak wajar yang mengikutinya, menurut Liona tidak ada yang aneh dengan teman sekamarnya itu.

Ah, tunggu.

Liona tersadar akan sesuatu dan kembali menoleh ke sosok transparan di belakang Vini. Nenek itu kembali tersenyum. Kali ini dengan penuh arti.

"Eh, katanya kamu bisa baca tarot, ya?" Sanny ikutan nimbrung.

Vini tertawa kecil. "Lumayan."

Sekarang Liona paham. Mungkin Vini memiliki kesamaan dengannya, tapi dengan "cara" yang berbeda.

"Aku nggak tahu kalian percaya tarot atau tidak, tapi itu ... sebenarnya aku sempat meramal Azura dan dia nggak peduli sama hasilnya."

Liona mengangguk-angguk maklum. Tipikal Azura banget. Baginya kan logic is number one.

"Jadi kartunya Azura nggak bagus?" Liona mencoba menebak.

"Begitulah."

"Jangan khawatir. Dia orangnya sangat waspada dan berhati-hati." Liona berusaha menenangkan. "Pasti akan baik-baik saja."

"Ya. Kuharap begitu." Vini tersenyum tipis, tampak tidak teryakinkan. Liona jadi penasaran kartu macam apa yang sudah dipilih Azura.

Selanjutnya mereka mengubah topik dan mulai berbicara ngalor-ngidul tentang berbagai hal.

***

Sanny dan Vini harus cepat-cepat ke kelas karena ada jadwal piket. Mereka memutuskan untuk menggunakan sepeda--yang memang disediakan yayasan--dan memacunya menuju kawasan sekolah. Liona menolak ikut dan memutuskan untuk berjalan kaki dari asrama ke sekolah. Lagipula jam masuk juga masih lumayan lama.

Hal sederhana lain yang membuat Liona bahagia adalah berjalan santai di pagi yang tenang dan adem. Apalagi kalau suasananya tidak begitu ramai seperti ini. Kesannya healing banget.

"Good morning."

Dari palik bayangan pepohonan, sesosok cowok berkulit pucat dan berambut hitam muncul menyapa Liona. Senyumannya begitu cerah, sangat tidak senada dengan noda merah segar yang terpampang di bagian dada dan perutnya. Dengan langkah pincang, dia mendekati Liona.

"Rajin banget pagi-pagi udah ke sekolah. Jalan kaki pula. Biasanya juga pakai sepeda."

"Moodku lagi bagus. Apa kabar?"

"Tadinya jelek. Sekarang sudah lebih baik."

Liona tertawa.

Satu lagi hal yang membuatnya bahagia.

Tapi sayangnya yang ini juga membuat hatinya sakit di saat bersamaan.

***

TEMA 10:

TEMA 10:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[End] When The New Day ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang