BAB 05

1K 138 73
                                    

NIRA

"Karena ... aku pernah mengalami hal seperti ini, Nira ..." Mas Danar menghela napas, "Dan itu sungguh menyakitkan. Aku tidak ingin itu terjadi padamu."

Aku termangu. Di tengah-tengah nyeri perut akibat pukulan balok kayu sialan ini, kutatap dalam-dalam mata Mas Danar. Aku mencari apa ada kebohongan di sana?

Tidak ada.

"Kalau kamu mau tahu, aku akan cerita tapi tidak sekarang," tambahnya. Suara Mas Danar bahkan terdengar lirih. "Sekarang kita ke klinik dulu, ya. Kesehatanmu paling penting."

Mas Danar melanjutkan memapahku sampai sepeda motornya yang tidak jauh dari gang ini. Sebenarnya aku masih jengkel atas sikapnya tadi, tapi rasa sakit di badan ini terlalu menyiksa. Mungkin nanti ketika semua baik-baik saja aku akan menggali lebih dalam siapa sesungguhnya Mas Danar? Setidaknya aku akan pasang beberapa strategi matang bila Mas Danar memang benar-benar penguntit, terutama jika itu kiriman dari si Anjing Gila dan Tuannya.

Klinik yang kami kunjungi tidak terlalu jauh, dan hasilnya adalah aku hanya kena memar besar di perut, rahang kanan, dan lengan serta luka di bibir. Syukurnya aku tidak perlu sampai rawat inap, hanya perlu istirahat di rumah dengan obat resep dokter.

Ketika perawat dengan telaten mengobatiku, mataku tertuju pada punggung Mas Danar yang sedang mengurus administrasi klinik. Ah, lagi-lagi aku berhutang budi padanya, harus kubayar pakai apa lagi?

"Ibu bisa pulang ketika infusnya habis, ya?" tutur perawat membuyarkan pikiranku sambil membereskan peralatan medis dalam satu kotak besi besar..

"Iya, terima kasih."

Perawat itu meninggalkanku lalu kursinya diduduki Mas Danar. Saat ini aku benar-benar tidak ingin bicara dengannya. Aku ingin mencecarnya, sialnya bau alkohol dari obat merah dan dehidrasi ini sungguh menyiksa hidungku sehingga apa yang mau kukatakan lenyap begitu saja. Mas Danar sendiri pun sepertinya juga tidak bicara lagi, bahkan sampai mengantarkanku kembali ke apartemen.

***

Setelah kuceritakan kondisiku pada tim, Ronald menggantikanku untuk kunjungan ulang ke pabrik dengan Dara. Bu Didi dan Bu Ranti yang mengetahui kondisiku langsung menyuruhku istirahat dan dilarang masuk kantor, bahkan sudah sekongkol sama satpam. Aku menyerah bila dua perempuan paruh baya itu sudah bertitah apalagi bawa-bawa ceramah kesehatan sebagai investasi diri.

Akhirnya aku ambil cuti hampir dua minggu dengan catatan harus ada laporan untukku, sehingga ketika kembali aku siap.

Cuti tidak selamanya buruk, aku memanfaatkan waktu untuk diri sendiri sembari memulihkan memar-memar ini. Rutinitas lamaku kembali seperti meditasi dan latihan jurus pencak silat yang masih sulit kukuasai setiap pagi dan sore di balkon. Kemudian, fitting gaun bridesmaid di Mbak Ria – desainer langganannya Yanti – untuk nikahannya Ella sama Bagas yang tinggal beberapa minggu lagi. Sisanya adalah mengunggah hasil-hasil jepretan lama yang baru kuedit di Instagram dan menulis ulasan produk perawatan kulit di blog.

Hingga kabar dari Ronald pada dua hari sebelum akhir cuti membakar semangat kerjaku.

"Lo bener, Nira," tutur Ronald pada panggilan video dengan menenteng jas toga, "Mereka sengaja nyerang lo biar terluka dan tidak bisa nyelesain kasusnya Pak Anton ini sehingga perusahaannya kalang kabut dan tidak bisa melanjutkan produksinya, terus saham anjlok deh. Ketika mereka ke sana, Pak Parto tuh lagi nggak dapat jadwal shift makanya dibilang nggak ada, kan? Terus nih, analisis sementara gue sama Dara adalah polisi yang nolak laporan lo itu dibeking salah satu saingan dari Anggara Industries. Siapa nama polisinya? Pak Sigit sama Pak Alfa?"

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang