BAB 18 (2)

620 85 39
                                    

DANAR

"Sianida," ujar Arjuna sambil memproyeksikan foto peluru dari jam tangan khususnya ke dinding ruang tengahku. "Peluru yang bersarang di tubuh Kamila seharusnya tidak mematikan. Ini sejenis dengan peluru senapan angin yang digunakan untuk memburu hewan. Apalagi hanya menancap di bahu, tidak sampai membahayakan apa-apa. Namun ada lubang di tengah peluru ini yang ternyata diisi dengan sianida. Langsung menyebar ke aliran darah." Ia membuat gerakan memutar di atas permukaan jam tangan dengan ujung jari telunjuknya, yang mengubah sudut pandang gambar peluru di dinding dalam perspektif 360 derajat. "Dugaan saya, rasa sakit di tubuh Kamila akibat luka-lukanya meredam rasa sakit di bahu akibat tembakan ini. Apalagi dengan posisinya di atas motor, hentakan akibat rem mendadak menyamarkan hentakan akibat tembakan."

Dengan gigi terkatup, aku mengisap udara di sela-sela bibirku, membayangkan sakit yang Kamila rasakan.

"Sekali lagi, Mbak Nira," lanjut Arjuna, "saya minta maaf karena gagal melindungi Kamila." Ia menundukkan kepalanya.

"Ular itu memang licik," gerutu Nira sambil mengepalkan tangannya. "Benar-benar gaya mainnya seperti ini, pakai racun dan perlu ketepatan yang sangat tinggi."

"Mbak Nira yakin, Anjing Gila itu pelakunya? Sampai sekarang kami belum dapat bukti apa-apa. Kami nggak bisa menuduh sembarangan kalau belum ada bukti."

Nira mendengus. "Memang belum ada bukti, tapi saya cukup yakin, Mas Arjuna. Kebetulan sekali beberapa minggu lalu dia kabur dari penjara, dan sekarang ...." Ia menoleh padaku dan berhenti sejenak, ragu untuk melanjutkan. "Dia mengirim pesan teror padaku."

Arjuna melebarkan matanya ketika Nira mengulurkan ponselnya. "Baiklah, kalau begitu saya percaya pada Mbak Nira. Tapi kita tetap harus cari bukti nyatanya."

"Ehem," aku menyela, "Biar kita yang cari saja, Juna. Biarkan Nira istirahat. Dia sudah cukup syok dengan kejadian hari ini, ditambah teror dari Anjing Gila."

"Maaf, saya lupa kalau dia ....." Arjuna menggelengkan kepala. "Mantan pacarmu."

"Nggak usah diungkit lagi. Saya juga kepengen banget nangkap dia dan menjebloskannya ke penjara untuk selamanya," sahut Nira. "Dugaan saya begini, Mas Juna: Grup Syahreza membayar Anjing Gila untuk membunuh Kamila. Mereka juga yang menyediakan peluru sianida itu, soalnya mereka juga punya pabrik obat dan bahan kimia, kan?"

"Masuk akal," gumamku.

"Pokoknya saya akan terus selidiki dan laporkan perkembangannya. Kalian jaga diri, ya," ujar Arjuna sebelum pamit, sambil mengedipkan satu mata ke arahku.

"Iya, sudah sana cepat keluar," bisikku sambil mendorong anggota TNI itu sedikit kesal.

***

Sampai beberapa hari ke depan, Nira masih tinggal di apartemenku. Karena Pak Rado dan Bu Nura -- asistennya -- sudah menangani kasus Grup Syahreza sebagai jaksa penuntut umum, Bu Ranti mengizinkan Nira untuk bekerja dari rumah. Ia tidak bilang soal Anjing Gila, hanya ada yang mengancamnya selama kasus Grup Syahreza masih berlangsung.

"Iya, kamu di rumah saja. Istirahat baik-baik. Mau cuti dulu juga nggak apa-apa, yang penting kesehatan mentalmu terjaga." Aku mendengar suara Bu Ranti lewat panggilan video di ruang tengah yang kini penuh dengan kertas-kertas dokumen Nira, karena aku tidak punya ruang kerja khusus.

Aku menyuruh Nira menghuni kamarku, sementara aku tidur di sofa. Aku juga belum meninggalkan apartemen sama sekali karena khawatir Anjing Gila akan menyusup lalu mencelakai Nira. Walaupun Nira jago bela diri, kalau lawannya pakai peluru sianida, mana mungkin kami bisa melawan?

"Enaknya Nira dibawa ke mana, ya?" tanyaku pada Arjuna lewat telepon, ketika Nira sedang bekerja di kamarku. "Kalau ancamannya terlalu mengerikan, apakah kita perlu membawanya ke markas?"

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang