BAB 14

814 99 94
                                    

DANAR

“Nira, kamu penyelamatku,” bisikku ke telinga perempuan yang kucintai itu, sembari tetap menggandeng tangannya erat-erat. “Nanti kuceritakan apa yang terjadi. Sekarang kita harus mengusir nyamuk ini terlebih dahulu.”

Senyum Nira melebar. Tadinya ia hanya memaksakan diri untuk tersenyum, tetapi kali ini kuyakin senyumnya asli. 

“Oh, tentu, Mas. Mengusir nyamuk adalah kekuatan andalanku,” ucapnya lalu tertawa. 

Dia benar-benar menggemaskan -- harus kutahan perasaan yang membuncah di dadaku ini -- perasaan ingin menciumnya. 

Atau kucium saja dia sekalian?

“Baiklah, Giani, karena pacarku sudah datang, sebaiknya kamu pulang. Dan jawabanku terhadap semua permintaanmu tadi … tetap tidak,” tegasku kepada tamu tak diundang yang masih duduk di sofaku. 

Giani memandangi Nira dari atas kepala ke ujung kaki. Nira balas menatapnya. Aku tidak tahu ternyata perempuan juga bisa saling menegaskan kekuasaan seperti ini. Biasanya, yang kutahu laki-laki saling menatap untuk menunjukkan siapa lebih alpha

Reaksi Nira di luar dugaanku. Ia duduk di sebelah Giani dengan nyaman, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, lalu merentangkan tangannya. 

“Sore, Mbak Giani,” sapanya santai. 

“Sore, Mbak Nira,” balas Giani sok manis, lalu bangkit berdiri dan menghampiriku lagi. “Mas, jadi kamu dan Mbak Nira benar-benar pacaran? Kukira hanya sandiwara, soalnya waktu itu di restoran mukamu masih kelihatan kaku banget waktu dia bilang kalian pacaran. Kukira Mbak Nira adalah fans halu ….”

“Nira, voucher diskonnya masih lama berlakunya, kan? Kita makan makan di rumah aja, gimana? Kebetulan tadi kakak iparku, Uni Ratna, suruh aku bawa pulang rendang masakannya. Enak, lho, Uni Ratna jago masak. Mau kan? Biar kupanasin dulu, ya,” ujarku panjang lebar.

“Ya udah, boleh, kok, Mas. Iya, voucher-nya masih lama. Kapan-kapan aja kita pakenya.” Nira beranjak dari sofa dan turut menghampiriku di daerah dapur yang menyatu dengan ruang tengah, hanya dipisahkan oleh kitchen island

Ketika aku mulai mengeluarkan tupperware berisi rendang dari totebag kanvas yang dibawakan oleh Uni Ratna, Nira tiba-tiba memelukku dari belakang. Tubuhku beku sejenak, tetapi jantungku segera berpacu lebih cepat lagi. Kuputar badanku, kubalas pelukannya, lalu kucium pipinya. 

Suara keroncongan perutku lagi-lagi mengganggu suasana ini. 

Nira tertawa. “Laper banget, Mas?” 

“Lebih kangen kamu daripada laper.” 

Inginnya, sih, bilang ‘lebih lapar ingin makan kamu daripada rendang’, tetapi takutnya tidak sopan terhadap Nira. 

“Nggak nyangka, Mas Danar bisa gombal juga.” 

“Entah, ketularan teman yang jago gombal sepertinya.” 

Aku melirik ke arah Giani untuk mengecek apakah ia sudah pergi atau belum. Giani menangkap sorot mataku lalu tersenyum kecil. 

“Kalau mau sandiwara di depanku, nggak usah sampai gini kali, Mas. You’re trying too hard, it’s so obvious.” 

Ia mengambil tas berlogo Hermes-nya dari meja kaca di depan sofaku dan berjalan ke arah pintu. Akhirnya! 

“Sekali lagi, Mas, pertimbangkan kata-kataku tadi, ya,” lanjutnya, masih dengan suara merdu dan nada sok manisnya. “Kalau tidak ….” Ia melirik Nira sejenak, lalu menatapku lagi. “Mas Danar akan menyesal.” 

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang