NIRA
Napasku sesak setelah mendengar Mas Danar terluka. Tidak, tidak, jangan lagi terulang tragedi New York dua tahun lalu. Kututup telinga dan mataku sembari kenangan itu kembali hadir sedikit demi sedikit.
DOR.
Abraham memelukku tiba-tiba, erat dan dalam. Namun, aku tahu maksudnya setelah tanganku tidak sengaja pegang tengkuknya. Napasku terasa berhenti saat cairan merah itu memenuhi telapak tanganku. Seringai licik Danang tercetak jelas dengan tangan teracung pistol revolver abu-abu. Tubuhku sampai jatuh terduduk saking tidak kuat menahan tubuh besar Abraham yang terkulai. Akhirnya aku menidurkannya di tanah yang penuh rumput. Kepalaku terangkat untuk melihat Danang berjalan mendekat, tapi polisi NYPD langsung menahan dua tangan pria licik itu lalu menyeretnya paksa ke mobil polisi.
Entah berapa tetes air mataku jatuh ke wajahnya, yang aku tahu adalah satu tangan Abraham menangkup pipi kiriku. Kubuka mataku perlahan, wajah Abraham menampakkan senyum tulus. "Nira ..."
Tangisku makin kencang. "No. I'm sorry, I'm sorry for everything that I've done to you. I'll try to make it right for us but please stay alive."
Napas Abraham patah-patah tapi senyumnya belum pudar, ibu jarinya perlahan menghapus buliran air mataku saat tangisanku reda. Cairan merahnya menggenangi tanah rerumputan. Bibirnya bergerak tanpa suara, tangannya terangkat pelan menghalangi paramedis untuk mendekat. Tapi, aku tetap memerintahkan mereka untuk bergerak maju.
"Would you promise me something, Dear?" lirih Abraham dengan suara serak.
"Anything, Z, anything." Zarro adalah nama panggilan saat di luar jam kerja. Dia selalu kesal setiap mulutku tidak sengaja menyebut nama depannya.
Abraham urung melanjutkan perkataannya karena paramedis mulai melakukan pekerjaannya dan aku menyingkir. Mereka melakukan pertolongan pertama pada Abraham sebelum meletakkannya di tandu. Aku mengekori mereka ke ambulans. Teriakan dan perintah paramedis terus menggema dengan perban dan alat-alat yang menempel di tubuhnya, dan aku hanya diam seperti patung.
"Nira," panggilnya lirih sambil menggenggam lemah tanganku.
"Yes."
"Please ... promise me ...."
Aku melirik jendela mobil sebentar, rumah sakit sudah dekat. Paramedis sedang menghubungi IGD dengan bahasa kedokteran yang tidak aku pahami sama sekali.
"Promise me ...." suara Abraham mengecil bikin paramedis menggeser tubuhnya sedikit agar aku bisa mendengar perkataan pria yang bikin hatiku menghangat. "Promise me ... to always happy ... for the ... sake ... of ... yourself."
"I promise, Z. I will."
"Take ... care ... Dear," ujarnya bahagia.
Saat genggaman tangan kami lepas seutuhnya, paramedis menyebutkan waktu kematian Abraham dalam bahasa Inggris, tepat saat ambulans berhenti di IGD. Pejaman mata dengan senyum tipis adalah hal terakhir yang kulihat, dan air mataku tak bisa keluar lagi.
"Nira ... Ndhuk, tarik napas, buang." Suara Bu Ratri menyadarkanku dari film menakutkan tersebut.
Samar-samar kudengar Bu Ratri berteriak panik pada seseorang di telepon, jika tanya obat pasti lagi telponan dengan dokter. Kemudian terdengar lagi suara gemericik entah darimana. Habis itu suara Bu Ratri terdengar lagi.
"Minum obat ini dulu, Ndhuk." Aku menerima sebutir tablet lalu meminumnya pakai tumbler yang biasa kubawa ke kantor.
"Nira, kamu nggak apa, kan?" tanya Mas Juna dari posisi setir. Aku duduk di jok belakang mobil sama Bu Ratri.
Kusandarkan kepalaku di bahu Bu Ratri, membiarkan obatnya bekerja merilekskan saraf pada tubuhku. "Aku ... nggak apa, Mas Jun."
"Bohong kamu, Nir." Mas Juna tidak percaya. "Kamu bi--"
"Juna," potong Bu Ratri, "Nanti saya ceritakan lebih lengkap. Lanjutkan nyetirmu."
Suara tegas Bu Ratri bikin Mas Juna bungkam. Tapi kutahu dia sesekali melirik ke arahku melalui kaca spion tengah dengan penuh tanya.
Sesampainya di rumah sakit, dokter yang menangani Mas Danar mengatakan bahwa ia terkena luka tusuk di pinggang dan harus dapat jahitan dan semua berjalan lancar. Aku bernapas lega karena Mas Danar bisa bertahan hidup dengan Bu Ratri memelukku sangat erat.
Beberapa jam kemudian, dokter mengabarkan kalau Mas Danar sudah masuk kamar inapnya, aku bergegas masuk dan menarik kursi untuk duduk di sisi kasurnya. Tidurnya yang damai itu bikin aku masih sulit melupakan trauma tragedi New York itu. Bahkan, sampai sekarang aku belum bisa memenuhi janji terakhir Abraham padaku.
Apa sebenarnya sudah tapi aku tidak sadar?
Aku pindah ke meja makan dan mengeluarkan isi tasku yang berupa dokumen terkait semua kasus yang kualami. Kemudian, semua masalah ini kurangkai dari awal hingga saat ini agar bisa menemukan celah baru. Sejahat-jahatnya para pebisnis culas macam Grup Rahadi, Syahreza, dan Wiratmoko, pasti mereka meninggalkan jejak sekali pun angin sepoi-sepoi. Lebih baik ku alihkan ke pekerjaan saja, seperti biasanya. Sesekali kulirik brankar Mas Danar, siapa tahu bangun lebih cepat.
Entah sudah berapa jam aku larut dalam pekerjaan, Mas Juna dan Bu Ratri masuk berdiri menjulang di hadapanku.
"Nir, mending kamu pulang deh. Lihat kamu kacau gini bikin saya takut," ujar Mas Juna cemas.
"Nak Juna benar, Ndhuk. Mendingan kamu istirahat dulu, terus besok ke sini lagi," timpal Bu Ratri.
"Tapi, Bu--" Mataku kembali melirik ke Mas Danar yang tertidur pulas.
"Nggak ada tapi tapi, Nira." Kalau Bu Ratri manggil namaku pakai suara dalam gini berarti benar-benar tidak mau dibantah sama sekali. "Kamu tentu nggak mau overdosis obat tidur kayak dulu, kan?"
Mataku melebar. Itu rahasia antara aku, Bu Ratri, dokter Likha, dan Pak Darya. Bahkan, kami tutup rapat kondisi ini dari semua orang agar aku bisa bersaksi di pengadilan dua tahun lalu dengan lancar.
Mas Juna hanya menggelengkan kepala. "Bu Ratri sudah cerita tentang kejadian traumatismu, Nir. Maaf aku nggak tahu ternyata separah itu."
Senyum tipisku terbit sambil beranjak dengan mencangklongkan tas tanganku di bahu. Sengaja kutinggal berkasku di sini karena berat. "Nggak apa, Mas. Aku sudah pulih kok, berkat mereka berdua sama dokter Likha psikiaterku."
"Nanti aku kabarin kalau Mas Danar sudah sadar." Suara Mas Juna terdengar dari punggungku saat memutar kenop pintu.
Anggukanku dan Bu Ratri di pintu adalah jawabanku pada Mas Juna.
900++ kata.
(18 Juli 2021)
Happy Reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
Embracing Dawn (T) | ✓
Romansa[LOVE ACTION UNIVERSE #2] DAFTAR PENDEK THE WATTYS 2021 READING LIST WATTPAD ROMANCE ID - Dangerous Love DESEMBER 2021 (BUKAN KARYA PLAGIAT) Walau ini bukanlah pertemuan pertama mereka, tapi masing-masing mulai menyadari bahwa satu-satunya jalan un...