BAB 19 (1)

576 87 32
                                    

NIRA

Ini telingaku yang error apa bagaimana?

Tidak ada angin dan hujan -- kalimat andalan Satya yang dipakai setiap Obi bertingkah aneh -- Mas Danar sudah bersimpuh dan mengucapkan kalimat yang terdengung di telingaku. Butuh lima belas menit untuk sadar bahwa Mas Danar ngajak nikah, gara-gara lihat gayanya persis di adegan lamaran dalam film Hollywood romcom jadul favoritnya Ella sama Yanti. Itu baru satu, yang kedua adalah Mas Danar nggak bawa cincin, cuma modal genggam tangan.

"Mas, aku ...."

Sialan, kenapa kata-kata yang sudah kurangkai jadi ketahan semua?

Padahal aku cuma bilang kalau lamaran tanpa cincin itu ... terasa kurang.

Malahan kalimat ini yang keluar. "Iya, aku mau menikah sama kamu, Mas. Tapi ... kamu lupa beli cincin."

Mas Danar tertawa sampai kepalanya tertuju pada genggaman tangan yang masih belum dilepasnya. "Maaf lamarannya jadi terasa dadakan, Nir. Sebenarnya ...." Suara Mas Danar berhenti karena terdengar suara grudukan lantai dari luar.

Makin lama terdengar jelas.

Apa jangan-jangan terkait kami berdua jadi trending topic?

Sialan.

"Masalah cincin bisa nanti, Mas." Kulepas pelan genggaman tangannya yang hangat ini, padahal aku masih betah. "Ayo kita pergi, peluang kita masih delapan puluh persen lolos."

Aku dan Mas Danar membereskan barang-barang yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Kami hanya bawa satu tas ransel besar -- aku pakai ransel dari pindahan sementara dari unitku ke unitnya sejak kematian Kamila dan teror Danang menggila -- Mas Danar minta keluar lebih dulu untuk periksa situasi. Begitu aman, kami langsung mengitari koridor menuju pintu darurat.

"Pakai mobil kamu apa mobilku?" Suara Mas Danar menyadarkan fokusku yang lagi-lagi oleng gara-gara tubuhku terasa letih.

"Mobilku aja, Mas."

Karena kami berhenti di pintu keluar area parkir mobilku, sekaligus efisiensi waktu. Syukur saja aku bawa kunci mobil. Mas Danar mengikuti di belakang, tapi tangannya kutarik pelan untuk pindah posisi di sampingku. Kulingkarkan tanganku pada lengannya saat berjalan di tengah parkiran. Ia tidak protes, tapi aku tahu Mas Danar senang.

Begitu sampai mobilku, kubiarkan Mas Danar yang setir sementara sandaran jok kuturunkan biar memperlancar rebahan.

Jakarta pukul sebelas malam tidak seberapa ramai, tapi cahaya dari gedung-gedung dan lampu jalan-lah yang bikin semuanya indah. Ini bikin otakku kembali pada kenangan enam tahun lalu, saat pertama kali kemari dalam kondisi mengenaskan yang mana anehnya masih bisa senyum. Seandainya aku masih pakai kalungku yang asli, pasti kuceritakan semua ini pada penjaga ruang transisi alias pendahuluku.

"Nira ...." Mas Danar memanggil saat mobilku berhenti di lampu merah.

"Ya, Mas?"

"Kita ke mana sekarang? Apa ke tempat Pak Ardhi?"

Aku menggeleng, tidak enak ganggu Renita dan Papanya. Aku sudah banyak sekali berutang budi pada mereka -- pengabdianku di kantor dan bantuin Renita dalam proses legal yayasan adalah salah satu cara membalasnya. Aku juga tidak mau ke apartemen teman-temanku, tidak enak terus bergantung ke mereka.

Mataku melebar, teringat pada satu orang yang ingin aku kunjungi setelah sekian lama. "Aku tahu satu tempat, Mas."

"Oke, tunjukkan jalannya kalau begitu, Nira."

***

"Kok rasanya deja vu sekali, ya?"

Seperti dugaanku, beliau memang belum tidur. Langsung saja kuberi pelukan singkat. Iya, apa yang dikatakannya benar sekali. Terakhir kami berdua berada dalam posisi ini adalah saat diriku berumur tujuh belas tahun dengan badan penuh luka dan memar karya Papa sambil menenteng fail tebal berisi seluruh piagam selama jadi atlet pencak silat. Ia lepas pelukan ini lebih dulu, menangkup pipiku, mengusir anak rambut yang mengganggu wajahku.

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang